DONATE

Rabu, 22 Jun 2011

Imam Abu Hanifah (w 150 H) Berkeyakinan "Allah Ada Tanpa Tempat", Tidak Seperti Keyakinan Kaum Wahhabiyyah.. Awas Terkecoh!!



 Tuesday, 30 March 2010 at 17:43


Suatu ketika al-Imam Abu Hanifah ditanya makna "Istawa", beliau menjawab: “Barangsiapa berkata: Saya tidak tahu apakah Allah berada di langit atau barada di bumi maka ia telah menjadi kafir. Karena perkataan semacam itu memberikan pemahaman bahwa Allah bertempat. Dan barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah bertempat maka ia adalah seorang musyabbih; menyerupakan Allah dengan makhuk-Nya” (Pernyataan al-Imam Abu Hanifah ini dikutip oleh banyak ulama. Di antaranya oleh al-Imam Abu Manshur al-Maturidi dalam Syarh al-Fiqh al-Akbar, al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam dalam Hall ar-Rumuz, al-Imam Taqiyuddin al-Hushni dalam Daf’u Syubah Man Syabbah Wa Tamarrad, dan al-Imam Ahmad ar-Rifa’i dalam al-Burhan al-Mu’yyad)..

Di sini ada pernyataan yang harus kita waspadai, ialah pernyataan Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah. Murid Ibn Taimiyah ini banyak membuat kontroversi dan melakukan kedustaan persis seperti seperti yang biasa dilakukan gurunya sendiri. Di antaranya, kedustaan yang ia sandarkan kepada al-Imam Abu Hanifah. Dalam beberapa bait sya’ir Nuniyyah-nya, Ibn al-Qayyim menuliskan sebagai berikut:

“Demikian telah dinyatakan oleh Al-Imam Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit, juga oleh Al-Imam Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshari. Adapun lafazh-lafazhnya berasal dari pernyataan Al-Imam Abu Hanifah...
bahwa orang yang tidak mau menetapkan Allah berada di atas arsy-Nya, dan bahwa Dia di atas langit serta di atas segala tempat, ...
Demikian pula orang yang tidak mau mengakui bahwa Allah berada di atas arsy, --di mana perkara tersebut tidak tersembunyi dari setiap getaran hati manusia--,...
Maka itulah orang yang tidak diragukan lagi dan pengkafirannya. Inilah pernyataan yang telah disampaikan oleh al-Imam masa sekarang (maksudnya gurunya sendiri; Ibn Taimiyah).
Inilah pernyataan yang telah tertulis dalam kitab al-Fiqh al-Akbar (karya Al-Imam Abu Hanifah), di mana kitab tersebut telah memiliki banyak penjelasannya”.

Apa yang ditulis oleh Ibn al-Qayyim dalam untaian bait-bait syair di atas tidak lain hanya untuk mempropagandakan akidah tasybih yang ia yakininya. Ia sama persis dengan gurunya sendiri, memiliki keyakinan bahwa Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy. Pernyataan Ibn al-Qayyim bahwa keyakinan tersebut adalah akidah al-Imam Abu Hanifah adalah kebohongan belaka. Kita meyakini sepenuhnya bahwa Abu Hanifah adalah seorang ahli tauhid, mensucikan Allah dari keserupaan dengan makhluk-Nya. Bukti kuat untuk itu mari kita lihat karya-karya al-Imam Abu Hanifah sendiri, seperti al-Fiqh al-Akbar, al-Washiyyah, atau lainnya. Dalam karya-karya tersebut terdapat banyak ungkapan beliau menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya, Dia tidak membutuhkan kepada tempat atau arsy, karena arsy adalah makhluk Allah sendiri. Mustahil Allah membutuhkan kepada makhluk-Nya.

Sesungguhnya memang seorang yang tidak memiliki senjata argumen, ia akan berkata apapun untuk menguatkan keyakinan yang ia milikinya, termasuk melakukan kebohongan-kebohongan kepada para ulama terkemuka. Inilah tradisi ahli bid’ah, untuk menguatkan bid’ahnya, mereka akan berkata: al-Imam Malik berkata demikian, atau al-Imam Abu Hanifah berkata demikian, dan seterusnya. Padahal sama sekali perkataan mereka adalah kedustaan belaka.

Dalam al-Fiqh al-Akbar, al-Imam Abu Hanifah menuliskan sebagai berikut:

“Dan sesungguhnya Allah itu satu bukan dari segi hitungan, tapi dari segi bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, tidak ada suatu apapun yang meyerupai-Nya. Dia bukan benda, dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Dia tidak memiliki batasan (tidak memiliki bentuk; artinya bukan benda), Dia tidak memiliki keserupaan, Dia tidak ada yang dapat menentang-Nya, Dia tidak ada yang sama dengan-Nya, Dia tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya, dan tidak ada suatu apapun dari makhluk-Nya yang menyerupainya” (Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan Syarh-nya karya Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 30-31).

Masih dalam al-Fiqh al-Akbar, Al-Imam Abu Hanifah juga menuliskan sebagai berikut:

وَاللهُ تَعَالى يُرَى فِي الآخِرَة، وَيَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَهُمْ فِي الْجَنّةِ بِأعْيُنِ رُؤُوسِهِمْ بلاَ تَشْبِيْهٍ وَلاَ كَمِّيَّةٍ وَلاَ يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَة.

“Dan kelak orang-orang mukmin di surga nanti akan melihat Allah dengan mata kepala mereka sendiri. Mereka melihat-Nya tanpa adanya keserupaan (tasybih), tanpa sifat-sifat benda (Kayfiyyah), tanpa bentuk (kammiyyah), serta tanpa adanya jarak antara Allah dan orang-orang mukmin tersebut (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan atau-pun samping kiri)”” ( Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan syarah Syekh Mulla Ali al-Qari, h. 136-137).

Pernyataan al-Imam Abu Hanifah ini sangat jelas dalam menetapkan kesucian tauhid. Artinya, kelak orang-orang mukmin disurga akan langsung melihat Allah dengan mata kepala mereka masing-masing. Orang-orang mukmin tersebut di dalam surga, namun Allah bukan berarti di dalam surga. Allah tidak boleh dikatakan bagi-Nya “di dalam” atau “di luar”. Dia bukan benda, Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Inilah yang dimaksud oleh Al-Imam Abu Hanifah bahwa orang-orang mukmin akan melihat Allah tanpa tasybih, tanpa Kayfiyyah, dan tanpa kammiyyah.

Pada bagian lain dari Syarh al-Fiqh al-Akbar, yang juga dikutip dalam al-Washiyyah, al-Imam Abu Hanifah berkata:

ولقاء الله تعالى لأهل الجنة بلا كيف ولا تشبيه ولا جهة حق

“Bertemu dengan Allah bagi penduduk surga adalah kebenaran. Hal itu tanpa dengan Kayfiyyah, dan tanpa tasybih, dan juga tanpa arah” (al-Fiqh al-Akbar dengan Syarah Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 138).

Kemudian pada bagian lain dari al-Washiyyah, beliau menuliskan:

وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ كَالْمَخْلُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَارِ فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا.

“Kita menetapkan sifat Istiwa bagi Allah pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhkan kepada arsy tersebut, juga bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat atau bersemayam di arsy. Allah yang memelihara arsy dan memelihara selain arsy, maka Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-makhluk-Nya tersebut. Karena jika Allah membutuhkan kapada makhluk-Nya maka berarti Dia tidak mampu untuk menciptakan alam ini dan mengaturnya. Dan jika Dia tidak mampu atau lemah maka berarti sama dengan makhluk-Nya sendiri. Dengan demikian jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia? (Artinya, jika sebelum menciptakan arsy Dia tanpa tempat, dan setelah menciptakan arsy Dia berada di atasnya, berarti Dia berubah, sementara perubahan adalah tanda makhluk). Allah maha suci dari pada itu semua dengan kesucian yang agung” (Lihat al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh Mullah Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70).

Dalam al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:

قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.

“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu” (Lihat al-Fiqh al-Absath karya al-Imam Abu Hanifah dalam kumpulan risalah-risalahnya dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 20).

Pada bagian lain dalam kitab al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:

“Allah ada tanpa permulaan (Azali, Qadim) dan tanpa tempat. Dia ada sebelum menciptakan apapun dari makhluk-Nya. Dia ada sebelum ada tempat, Dia ada sebelum ada makhluk, Dia ada sebelum ada segala sesuatu, dan Dialah pencipta segala sesuatu. Maka barangsiapa berkata saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah Ia di langit atau di bumi?, maka orang ini telah menjadi kafir. Demikian pula menjadi kafir seorang yang berkata: Allah bertempat di arsy, tapi saya tidak tahu apakah arsy itu di bumi atau di langit” (al-Fiqh al-Absath, h. 57).

Dalam tulisan al-Imam Abu Hanifah di atas, beliau mengkafirkan orang yang berkata: “Saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah Ia di langit atau di bumi?”. Demikian pula beliau mengkafirkan orang yang berkata: “Allah bertempat di arsy, tapi saya tidak tahu apakah arsy itu di bumi atau di langit”.
Klaim kafir dari al-Imam Abu Hanifah terhadap orang yang mengatakan dua ungkapan tersebut adalah karena di dalam ungkapan itu terdapat pemahaman adanya tempat dan arah bagi Allah. Padahal sesuatu yang memiliki tempat dan arah sudah pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam tempat dan arah tersebut. Dengan demikian sesuatu tersebut pasti baharu (makhluk), bukan Tuhan.
Tulisan al-Imam Abu Hanifah ini seringkali disalahpahami atau sengaja diputarbalikan pemaknaannya oleh kaum Musyabbihah. Perkataan al-Imam Abu Hanifah ini seringkali dijadikan alat oleh kaum Musyabbihah untuk mempropagandakan keyakinan mereka bahwa Allah berada di langit atau berada di atas arsy. Padahal sama sekali perkataan al-Imam Abu Hanifah tersebut bukan untuk menetapkan tempat atau arah bagi Allah. Justru sebaliknya, beliau mengatakan demikian adalah untuk menetapkan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Hal ini terbukti dengan perkataan-perkataan al-Imam Abu Hanifah sendiri seperti yang telah kita kutip di atas. Di antaranya tulisan beliau dalam al-Washiyyah: “Jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia?”.

Dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa klaim kafir yang sematkan oleh al-Imam Abu Hanifah adalah terhadap mereka yang berakidah tasybih; yaitu mereka yang berkeyakinan bahwa Allah bersemayam di atas arsy. Inilah maksud yang dituju oleh al-Imam Abu Hanifah dengan dua ungkapannya tersebut di atas, sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Imam al-Bayyadli al-Hanafi dalam karyanya; Isyarat al-Maram Min ‘Ibarat al-Imam (Lihat Isyarat al-Maram, h. 200). Demikian pula prihal maksud perkataan al-Imam Abu Hanifah ini telah dijelasakan oleh al-Muhaddits al-Imam Muhammad Zahid al-Kautsari dalam kitab Takmilah as-Saif ash-Shaqil (Lihat Takmilah ar-Radd ‘Ala an-Nuniyyah, h. 180).

Asy-Syaikh ‘Ali Mulla al-Qari di dalam Syarah al-Fiqh al-Akbar menuliskan sebagai berikut:

“Ada sebuah riwayat berasal dari Abu Muthi’ al-Balkhi bahwa ia pernah bertanya kepada Abu Hanifah tentang orang yang berkata “Saya tidak tahu Allah apakah Dia berada di langit atau berada di bumi!?”. Abu Hanifah menjawab: “Orang tersebut telah menjadi kafir, karena Allah berfirman “ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa”, dan arsy Allah berada di atas langit ke tujuh”. Lalu Abu Muthi’ berkata: “Bagaimana jika seseorang berkata “Allah di atas arsy, tapi saya tidak tahu arsy itu berada di langit atau di bumi?!”. Abu Hanifah berkata: “Orang tersebut telah menjadi kafir, karena sama saja ia mengingkari Allah berada di langit. Dan barangsiapa mengingkari Allah berada di langit maka orang itu telah menjadi kafir. Karena Allah berada di tempat yang paling atas. Dan sesungguhnya Allah diminta dalam doa dari arah atas bukan dari arah bawah”.

Kita jawab riwayat Abu Muthi’ ini dengan riwayat yang telah disebutkan oleh al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam dalam kitab Hall ar-Rumuz, bahwa al-Imam Abu Hanifah berkata: “Barangsiapa berkata “Saya tidak tahu apakah Allah di langit atau di bumi?!”, maka orang ini telah menjadi kafir. Karena perkataan semacam ini memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat. Dan barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat maka orang tersebut seorang musyabbih; menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya”. Al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam adalah ulama besar terkemuka dan sangat terpercaya. Riwayat yang beliau kutip dari al-Imam Abu Hanifah dalam hal ini wajib kita pegang teguh. Bukan dengan memegang tegung riwayat yang dikutip oleh Ibn ‘Abi al-Izz; (yang telah membuat syarah Risalah al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah versi akidah tasybih). Di samping ini semua, Abu Muthi’ al-Balkhi sendiri adalah seorang yang banyak melakukan pemalsuan, seperti yang telah dinyatakan oleh banyak ulama hadits” (Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 197-198).

Asy-Syaikh Musthafa Abu Saif al-Hamami, salah seorang ulama al-Azhar terkemuka, dalam kitab karyanya berjudul Ghauts al-‘Ibad Bi Bayan ar-Rasyad menuliskan beberapa pelajaran penting terkait riwayat Abu Muthi’ al-Balkhi di atas, sebagai berikut:

Pertama: Bahwa pernyataan yang dinisbatkan kepada al-Imam Abu Hanifah tersebut sama sekali tidak ada penyebutannya dalam al-Fiqh al-Akbar. Pernyataan semacam itu dikutip oleh orang yang tidak bertanggungjawab, dan dengan sengaja ia berdusta mengatakan bahwa itu pernyataan al-Imam Abu Hanifah dalam al-Fiqh al-Akbar, tujuannya tidak lain adalah untuk mempropagandakan kesesatan orang itu sendiri.

Kedua: Kutipan riwayat semacam ini jelas berasal dari seorang pemalsu (wadla’). Riwayat orang semacam ini, dalam masalah-masalah furu’iyyah (fiqih) saja sama sekali tidak boleh dijadikan sandaran, terlebih lagi dalam masalah-masalah ushuliyyah (akidah). Mengambil periwayatan orang pemalsu semacam ini adalah merupakan pengkhiatan terhadap ajaran-ajaran agama. Dan ini tidak dilakukan kecuali oleh orang yang hendak menyebarkan kesesatan atau bid’ah yang ia yakini.

Ketiga: Periwayatan pemalsu ini telah terbantahkan dengan periwayatan yang benar dari seorang al-Imam agung terpercaya (tsiqah), yaitu al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam. Periwayatan al-Imam Ibn Abd as-Salam tentang perkataan al-Imam Abu Hanifah jauh lebih terpercaya dan lebih benar dibanding periwayatan pemalsu tersebut. Berpegang teguh kepada periwayatan seorang pendusta (kadzdzab) dengan meninggalkan periwayatan seorang yang tsiqah adalah sebuah pengkhianatan, yang hanya dilakukan seorang ahli bid’ah saja. Seorang yang melakukan pemalsuan semacam ini, cukup untuk kita klaim sebagai orang yang tidak memiliki amanah. Jika orang awam saja melakukan pemalsuan semacam ini dapat menjadikannya seorang yang tidak dapat dihormati lagi, terlebih jika pemalsuan ini dilakukan oleh seorang yang alim, maka jelas orang alim ini tidak bisa dipertanggungjawabkan lagi dengan ilmu-ilmunya. Dan “orang alim” semacam itu tidak pantas untuk kita sebut sebagai orang alim, terlebih kita golongkannya dari jajaran Imam-Imam terkemuka, atau para ahli ijtihad. Dan lebih parah lagi jika pengkhianatan pemalsu ini dalam tiga perkara ini sekaligus. Padahal dengan hanya satu pengkhianatan saja sudah dapat menurunkannya dari derajat tsiqah. Karena jika satu riwayat sudah ia dikhianati, maka kemungkinan besar terhadap riwayat-riwayat yang lainpun ia akan melakukan hal sama (Lebih lengkap lihat Ghauts al-‘Ibad Bi Bayan ar-Rasyad, h. 99-100).

Kemudian dalam bait sya’ir di atas, Ibn al-Qayyim tidak hanya membuat kedustaan kepada al-Imam Abu Hanifah, namun ia juga melakukan kedustaan yang sama terhadap al-Imam Ya’qub. Yang dimaksud al-Imam Ya’qub dalam bait sya’ir ini adalah sahabat al-Imam Abu Hanifah; yaitu Abu Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshari. Dalam menyikapi perbuatan Ibn al-Qayyim ini, asy-Syaikh Musthafa Abu Saif al-Humami berkata: “Tidak diragukan lagi apa yang ia nyatakan ini adalah sebuah kedustaan untuk tujuan mempropagandakan keyakinan bid’ahnya” (Lihat Ghauts al-‘Ibad Bi Bayan ar-Rasyad, h. 99).
Penilaian yang sama terhadap Ibn al-Qayyim semacam ini juga telah diungkapkan oleh al-Muhaddits al-Imam Muhammad Zahid al-Kautsari dalam kitab bantahannya terhadap Ibn al-Qayyim sendiri, berjudul Takmilah ar-Radd ‘Ala Nuniyyah Ibn al-Qayyim. Karya Al-Imam al-Kautsari ini adalah sebagai tambahan atas kitab karya Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki berjudul as-Saif ash-Shaqil Fi ar-Radd ‘Ala ibn Zafil, kitab yang juga berisikan serangan dan bantahan terhadap bid’ah-bid’ah Ibn al-Qayyim. Yang dimaksud dengan “Ibn Zafil” oleh Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam judul kitabnya ini adalah Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah; murid dari Ibn Taimiyah (Lihat Takmilah ar-Radd ‘Ala an-Nuniyyah, h. 108).

Dengan demikian riwayat yang sering dipropagandakan oleh Ibn al-Qayyim, yang juga sering dipropagandakan oleh kaum Wahhabiyyah bahwa al-Imam Abu Hanifah berkeyakinan “Allah berada di langit” adalah kedustaan belaka. Riwayat ini sama sekali tidak benar. Dalam rangkaian sanad riwayat ini terdapat nama-nama perawi yang bermasalah, di antaranya; Abu Muhammad ibn Hayyan, Nu’aim ibn Hammad, dan Nuh ibn Abi Maryam Abu ‘Ishmah.

Orang pertama, yaitu Abu Muhammad ibn Hayyan, dinilai dla’if oleh ulama hadits terkemuka yang hidup dalam satu wilayah dengan Abu Muhammad ibn Hayyan sendiri. Ulama hadits tersebut adalah al-Imam al-Hafizh al-‘Assal. Kemudian orang kedua, yaitu Nu’aim ibn Hammad adalah seorang mujassim (Lihat Tahdzib at-Tahdzib, j. 10, h. 409).

Demikian pula Nuh ibn Abi Maryam yang merupakan ayah tiri dari Nu’aim ibn Hammad, juga seorang mujassim (Lihat Tahdzib at-Tahdzib, j. 10, h. 433).

Dan Nuh ibn Abi Maryam ini adalah anak tiri dari Muqatil ibn Sulaiman; pemuka kaum mujassimah. Dengan demikian, Nu’aim ibn Hammad telah dirusak oleh ayah tirinya sendiri, yaitu Nuh ibn Abi Maryam. Demikian pula Nuh ibn Abi Maryam telah dirusak oleh ayah tirinya sendiri, yaitu Muqatil ibn Sulaiman. Orang-orang yang kita sebutkan ini, sebagaimana dinilai oleh para ulama ahli kalam, mereka semua adalah orang-orang yang berkeyakinan tasybih dan tajsim. Dengan demikian bagaimana mungkin riwayat orang-orang yang berakidah tasybih dan tajsim semacam mereka dapat dijadikan sandaran dalam menetapkan permasalahan akidah?! Sesungguhnya orang yang bersandar kepada mereka adalah bagian dari mereka sendiri.

Al-Imam al-Hafizh Ibn al-Jawzi dalam kitab Daf’u Syubah at-Tasybih, dalam penilaiannya terhadap Nu’aim ibn Hammad, mengutip perkataan Ibn ‘Adi, mengatakan: “Dia (Nu’aim ibn Hammad) adalah seorang pemalsu hadits” (Lihat Daf’u Syubah at-Tasybih, h. 32).

Kemudian al-Imam Ahmad ibn Hanbal pernah ditanya tentang riwayat Nu’im ibn Hammad, tiba-tiba beliau memalingkan wajahnya sambil berkata: “Hadits munkar dan majhul” (Daf’u Syubah at-Tasybih, h. 32). Penilaian Al-Imam Ahmad ini artinya bahwa riwayat Nu’aim ibn Hammad ada sesuatu yang sama sekali tidak benar.

(Masalah): Jika kaum Musyabbihah, seperti kaum Wahhabiyyah, mengatakan bahwa adz-Dzahabi telah mengutip riwayat dari kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat karya al-Hafizh al-Bayhaqi bahwa pernyataan “Allah berada di langit” adalah berasal dari al-Imam Abu Hanifah.

(Jawab): Kita katakan: Riwayat al-Hafizh al-Bayhaqi dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat dengan memepergunakan kata “In shahhat al-hikayah...” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 429). Hal ini menunjukan bahwa riwayat tersebut bermasalah. Artinya, riwayat yang dikutip al-Hafizh al-Bayhaqi ini bukan untuk dijadikan dalil. Yang menjadi masalah besar ialah bahwa tulisan al-Bayhaqi “In shahhat ar-riwayah...” ini diacuhkan oleh adz-Dzahabi untuk tujuan memberikan pemahaman kepada para pembaca bahwa pernyataan “Allah berada di langit” adalah statemen al-Imam Abu Hanifah. Ini menunjukan bahwa adz-Dzahabi tidak memiliki amanat ilmiyah. Hal ini juga menunjukan bahwa adz-Dzahabi telah banyak dipengaruhi oleh faham-faham gurunya sendiri, yaitu Ibn Taimiyah. al-Imam al-Muhaddits Muhammad Zahid al-Kautsari dalam Takmilah ar-Radd ‘Ala Nuniyyah Ibn al-Qayyim menuliskan bahwa pernyataan al-Bayhaqi dalam al-Asma’ Wa ash-Shifat: “In shahhat ar-riwayah...” menunjukan bahwa dalam riwayat tersebut terdapat beberapa cacat (al-khalal).

Namun hal terpenting dari pada itu ialah bahwa al-Imam al-Bayhaqi dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat tersebut, di dalam banyak tempat banyak menyebutkan tentang kesucian Allah dari pada tempat dan arah, salah satunya pernyataan beliau berikut ini:

“Sebagian sahabat kami (kaum Ahlussunnah dari madzhab Asy’ariyyah Syafi’iyyah) mengambil dalil dalam menafikan tempat dari Allah dengan sebuah hadits sabda Rasulullah: “Engkau ya Allah az-Zahir (Yang segala sesuatu menunjukan akan keberadaan-Nya) tidak ada suatu apapun di atas-Mu, dan Engkau ya Allah al-Bathin (Yang tidak dapat diraih oleh akal pikiran) tidak ada suatu apapun di bawah-Mu”. Dari hadits ini dipahami jika tidak ada suatu apapun di atas Allah, dan tidak ada suatu apapun di bawah-Nya maka berarti Dia ada tanpa tempat” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 400).

Pada halaman lain dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat, Al-Imam al-Bayhaqi menuliskan: “Apa yang diriwayatkan secara menyendiri (tafarrud) oleh al-Kalbi dan lainnya memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki bentuk, padahal sesuatu yang memiliki bentuk maka pasti dia itu baharu, membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam bentuk tersebut. Sementara Allah itu Qadim dan Azali (tanpa permulaan)” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 415).

Pada bagian lain dari kitab di atas, al-Imam al-Bayhaqi menuliskan: “Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 448-449).

Juga mengatakan: “Sesungguhnya gerak, diam, dan bersemayam atau bertempat itu adalah termasuk sifat-sifat benda. Sementara Allah tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia tidak membutuhkan kepada suatu apapun, dan tidak ada suatu apapun yang menyerupai-Nya” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 448-449).

Dengan penjelasan ini menjadi sangat terang bagi kita bahwa keyakinan Allah berada di langit yang dituduhkan sebagai keyakinan Al-Imam Abu Hanifah adalah kedustaan belaka yang sama seakali tidak benar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tuduhan semacam ini tidak hanya kedustaan kepada Al-Imam Abu Hanifah semata, tapi juga kedusataan terhadap orang-orang Islam secara keseluruhan dan kedustaan terhadap ajaran-ajaran Islam itu sendiri.
Al Hamdu Lillah Rabb al-Alamin.

CINTA??

Syed Ariff tersenyum lagi. Dia menepuk lembut bahu Hakim. "Hakim, kadang-kadang, mata kita nampak benda yang kita nak lihat, telinga kita dengar apa yang kita nak dengar dan mulut kita berbicara apa yang kita mahu bicarakan tanpa memikirkan natijahnya. Hakikat cinta itu sebenarnya cinta itu buta, pekak dan bisu. Cinta itu buta kerana kita tidak akan pernah tahu siapa dia yang akan memperoleh cinta kita. Cinta itu pekak kerana cinta yang suci tidak mendengar bicara manusia yang rapu. Cinta itu bisu kerana cinta itu tidak akan pernah terluah oleh kata-kata yang sia-sia. Hanya orang yang bercinta merasakannya dan hanya orang yang benar bercinta dan ikhlas bercinta akan merasakannya. Ayat-ayat cinta yang selalu terluah di bibir manusia hakikatnya kebanyakannya adalah bertunjangkan nafsu semata kerana cinta sebenar adalah buta, pekak dan bisu. Pada abi, cinta sebegitu memang sukar ditemui. Hakim, jangan biarkan perkara sebegitu merunsingkan pemikiran Hakim. Dunia ini masih banyak tawarannya."

SALAH FAHAM: DON'T JUDGE A BOOK BY ITS COVER

Ungkapan ini kerap saya dengari, saya yakin anda juga mungkin kerap mendengarnya. Kata-kata dari wanita yang tidak menutup aurat yang sering mendakwa bahawa hatinya baik dan suci walaupun ia berpakaian seksi serta mendedahkan aurat.

"Orang wanita bertudung pun banyak yang jahat hari ini, berzina, khalwat dan macam-macam lagi" Katanya memberi buah fikirannya.

"Malah, kami juga baik, kami tak kacau orang, tak mengumpat dan buat benda-benda tak elok" tambah wanita ini lagi.

Benarkah hujjah mereka?. Benarkah penampilan luaran tidak terpakai di dalam Islam ?. Ada juga yang sudah semakin ‘advance' hujahnya lantas berhujjah dengan sebuah maksud hadith Nabi yang sohih iaitu :
"Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh, rupa luaran dan harta kamu, tetapi melihat kepada hati dan amalan kamu" (Riwayat Muslim)

Simpati bercampur kesal saya mendengar bagaimana terdapat orang yang sewenangnya berhujjah dengan hadith untuk menyokong nafsunya. Hanya digunakan Islam dalam hal yang selari dengan kehendaknya sahaja.

Seorang pekerja yang dijumpai oleh majikannya sedang bermain ‘game' semasa waktu kerjanya sedangkan dokumen yang dipinta si boss masih tidak disiapkan,

lalu si majikan berkata: "Macam mana kamu nak cemerlang dalam kerja kalau begini sikap kamu"

Lalu jawab si pekerja : " Saya luaran je nampak main ‘game' boss, tapi hati saya ikhlas dan saya kerja dengan cemerlang"

Adakah anda rasa si boss boleh menerima cakap pekerjanya itu ? Adakah Allah SWT boleh mengganggap hati seseorang itu suci dan baik dengan melanggar perintahNya? Hakikatnya, sesuatu untuk baik dan suci mestilah ditentukan mengikut neraca Allah dan RasulNya, bukannya neraca pemikiran kita semata-mata.

Jika merujuk kepada neraca Islam, Nabi SAW pernah bersabda ertinya :
"Ketahuilah, bahawa di dalam diri anak Adam itu ada seketul daging, yang bila ianya baik maka baik seseorang itu, dan apabila buruk, buruklah amalan seseorang itu, ketahuilah, ia adalah hati"
(Riwayat Muslim)

Berdasarkan hadith ini, menurut neraca Islam kebaikan hati seseorang boleh dilihat di peringkat pertamanya dari tindak tanduknya. Ertinya, bila tindakannya sentiasa menyalahi kehendak dan hukum yang diletakkan Islam, ia adalah tanda kekotoran hatinya. Jika tindakan luarannya pula bertepatan dengan kehendak Islam, maka adalah harus ianya dianggap baik pada peringkat pertama iaitu neraca luaran orang ramai, adapun baik di peringkat kedua adalah samada hatinya bertujuan kerana Allah ata selainnya seperti sekadar menunjuk-nunjuk sahaja.

Justeru, 'we can judge a book by its cover in certain cases' iaitu apabila perkara asas Islam dilanggar, maka sudah tentu ‘that cover is reflecting what's inside the heart of a person'. Menghukum berdasarkan yang zahir ini bertepatan dengan hadith Ertinya : "Sesungguhnya aku hanya manusia, dan kamu sentiasa membawa kes pertikaian untuk di selesaikan olehku, dan mungkin sebahagian kami lebih cekap berhujjah dari sebahagian lainnya, maka aku telah memutuskan hukuman berdasarkan apa yang kudengari sahaja. Barangsiapa yang telah ku jatuhi hukuman dan hukuman itu mengambil hak yang lain (akibat kurang cekap pihak yang benar dalam berhujjah), maka janganlah kamu mengambilnya, sesungguhnya ia bakal menjadi sepotong api neraka"
(Riwayat Abu Daud, Tirmidzi dan lain-lain ; Rujuk Naylul Awtar, 8/632, no 3920 )

Hadith ini dengan jelas menunjukkan seorang hakim dalam Islam akan membuat hukum berdasarkan info dan bukti zahir yang diberikan. Demikian juga dalam kes penutupan aurat, tanpa menutupnya adalah tanda keingkaran hati terhadap arahan Allah. Mana mungkin hati begini boleh dianggap baik oleh Islam.

Kaum wanita perlu menyedari bahawa dengan pembukaan auratnya, setiap lelaki yang melihatnya akan memperoleh dosa setiap kali ia memandang. Tetapi yang beratnya adalah si wanita bukan mendapat satu dosa bagi kesalahan itu, tetapi juga meraih setiap dosa semua lelaki yang memandangnya. Bayangkanlah berapa banyak dosa yang diperolehi hanya dengan pembukaan aurat di satu hari. Ia berdasarkan sabda Nabi SAW Ertinya : "Sesiapa yang mempelopori sesuatu yang buruk, maka ke atasnya dosa dan dosa setiap orang yang membuatnya tanpa sedikit kurang pun dosanya.." ( Riwayat Ahmad dan lain-lain : Sohih )

Termasuklah dalam erti mempelopori, apabila seseorang itu mempelopori pembukaan auratnya di hari itu, yang menyebabkan lelaki melihatnya mendapat dosa. Pastinya, si wanita itu juga mendapat dosa tanpa kurang bagi setiap mata yang memandang. Adakah hati orang sebegini boleh dikira baik? setelah gunungan dosa mengaratkan hatinya?.

Sesungguhnya Allah itu maha adil dan maha pengasih. Segeralah mendapatkan kasih sayang Allah dengan mentaatinya. Bagi yang berdegil, tiada kata yang dapat diberikan kecuali; Yakinilah bahawa Allah itu benar, RasulNya juga benar, Syurga dan Neraka juga benar. Jika mempercayainya maka mengapa tindakan masih seolah meraguinya?




Vocabulary untuk hr ni:

Bokbong - spesis musang
Ttuyup - pepatung
Pok Kor - spesis mengkarung
Ike Kkhonge - ikan cencaru
Gelenyar,Gletah -mengenyam, getik
Absorber = saksoba
Supik Gelenyar/supik rhokrhak - plastik bag (yang nipis tu.)
Buah Topoh = buah epal (diambil dr perkataan Arab "tuffah" = epal)
mokte = rambutan
kuk/kok = sekeh
njja = tendang
x cakno = x hirau
nyaknyo = kesian
bbaloh = kelahi
Ggaduh = nak cepat (double `G' means sabdu))
debe = berani gilerr
Bekwoh = kenduri (mungkin berasal dari big work)
Tohok = buang
rhukah = panjat
Ghohok = susah, payah
hungga = lari (bkn hungga bungga ekk)
cuwoh = curah
getek/etek = juga
tepoh = langgar
tubik = keluar
SIAK DUK GGOBAR = Jangan risau.. Don't worry, be happy!!!
IDAK KO = cuma
WAK GGOGHI = Bagi memulakan sesuatu.. to start with.(biase nyer dlm urusan perniagaan)
DEKPONG GAK EH = Kalau ya pun
Jjughuh = baik (jjughuh budok tu = baik budak tu)
Kelaghing = kesat/not smooth (kulit kelaghing = skin not smooth enough)
belengas = melekit
klikpah klikpah = terpinga pinga
lipotey = x tetap duduk
nneting = melantun


Kelantan + English?? = "Kelantalish" .... hohoho

Contoh:
POZEK (deposit),
RIZAT (1.result
NNEJA (manager),
ISTEK (estate),
SUWIH (switch),
MERKET (market), dll...
BOKK (book)
rhoba (rubber)pemadam

Kata penguat dlm bahaso Klate pun boleh tahan menarik:
manis LLETING
masin PPEGHAK
pahit LLEPE
mase PPUGHIK
tawar EBER
putih SSUEH
hite LLEGE
biru KKETU
kuning NNEHE
kenye BBONYAH
comel LLOTE
gemuk DDEBOK
busuk BANGA
hapok KOHONG
nnakut/penakut apah
cerhoh/cerah jheriloh
jatuh celabok
kuca hanya (suara mengidung sedikit)

Ada beberapa "bunga bahasa" dalam loghat kelantan yang unik.. Antaranya:
YAK = lebih kurang "opocot!!!" atau "oops!!"
DEH? = memohon restu atau persetujuan...lebih kurang "OK?",
GAK = lebih kurang "habis tu.." atau "so.."
PAH? = lebih kurang "GAK"
HO(bunyi naik ke hidung sikit ) = "ya lah.." atau "yes"
DOCK? = lebih kurang "bu( kan )?", "betul tak?" atau "isn't it?"
LAMOKEY = nanti kan

Seperkara lagi, ada diantara perkataan dalam penggunaan biasa loghat Kelantan di anggap TABOO dalam loghat yang lain, atau sekurang-kurangnya tak manis didengar pengertiannya di dalam loghat tempat lain...Yang popular digunakan antaranya:

CEBOCK : kita maksudkan 'cedok', selalunya untuk cecair, mencedok air. Banyak tempat sebelah pantai barat membawa maksud "basuh b***k"(istinja).
PPATAK : kita maksudkan 'paling bawah'. Mencarut bagi mereka...
JEBUR : kita maksudkan 'botol' (kurang popular sebenarnya, tapi org tua-tua masih guna perkataan ni...) Kalau silap dengar, lain maksudnya.
KOTER : kita maksudkan "kelapa tua yang kering tak berair" (ingat slogan CAWAT KOTE?) di kebanyakan tempat, ianya mencarut juga!!
TTINO : kita maksudkan 'perempuan' t! api bila sebut BETINA, ramai yang marah.(begitu juga JATE...)
AIR TUAK : kita minum di bulan puasa, buat berbuka!!! Bagi orang luar, TUAK adalah Haram (sama taraf dengan TODI & ARAK ...)Yang fresh & manis tu dipanggil NIRA.
NNATE : kadangkala "simbol" kemesraan antarakawan... cuba direct translate jadi BINATANG... Boleh bergaduh nanti...
SUKU SAKAT : bagi kita,bermaksud "tidak kena mengena", bagi org KL,ia bermaksud "kaum kerabat" contradict betul!!!sprt gak perkataan bujang(buje)membawa erti janda kl di kelantan.
SIAL = sembuh

Biasanya perkataan yang berakhir dengan`an','am','ang' diganti dengan `e'. cth :
Jangan=jange
Lengan =lenge
ayam = aye
Geran = gere,
Pisang = pise
Malam = male BUT NEVER NEVER & NEVER apply this formula on words like
pelam(mangga) & pelan.(nanti jd lain lak.)

Akhir sekali, peranan "SABDU" dalam loghat Kelantan. Begitu besar dan boleh membezakan langit dengan bumi.Sekadar contoh,
Tanpa 'sabdu' orang boleh patah gigi kerana MAKAN KANTIN, sepatutnya disebut MAKE KKETENG (eating at the canteen)!!!
Atau salah faham antara TAK PAKAI (not wearing) dengan TOK PPAKA(useless).Atau keliru diantara KECEK(tipu) dengan KKECEK (bercakap) dan juga banyak di ringkaskan pecakapan sprt :make kkeda (makan di kedai) maye ssejid (sembahyang di masjid)tido lluar(tidur di luar)


so itula tutorial kite ttg bhs kelantan...(kl nk himpun bnyk lg)