ILMU TAKHRIJ DAN STUDI SANAD
Pengertian Takhrij
Takhrij menurut bahasa mempunyai beberapa makna. Yang paling mendekati di sini adalah berasal dari kata kharaja ( خَرَجَ ) yang artinya nampak dari tempatnya, atau keadaannya, dan terpisah, dan kelihatan. Demikian juga kata al-ikhraj ( اْلِإخْرَج ) yang artinya menampakkan dan memperlihatkannya. Dan al-makhraj ( المَخْرَج ) artinya artinya tempat keluar; dan akhrajal-hadits wa kharrajahu ( أَخْرَجَ اْلحَدِيْثَ وَخَرَّجَهُ ) artinya menampakkan dan memperlihatkan hadits kepada orang dengan menjelaskan tempat keluarnya.
Takhrij menurut istilah adalah menunjukkan tempat hadits pada sumber aslinya yang mengeluarkan hadits tersebut dengan sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan.
Sejarah Takhrij Hadits
Penguasaan para ulama terdahulu terhadap sumber-sumber As-Sunnah begitu luas, sehingga mereka tidakmerasa sulit jika disebutkan suatu hadits untuk mengetahuinya dalam kitab-kitab As-Sunnah. Ketika semangat belajar sudah melemah, mereka kesulitan untuk mengetahui tempat-tempat hadits yang dijadikan sebagai rujukan para ulama dalam ilmu-ilmu syar'i. Maka sebagian dari ulama bangkit dan memperlihatkan hadits-hadits yang ada pada sebagian kitab dan menjelaskan sumbernya dari kitab-kitab As-Sunnah yang asli, menjelaskan metodenya, dan menerangkan hukumnya dari yang shahih atas yang dla'if. Lalu muncullah apa yang dinamakan dengan "Kutub At-Takhrij" (buku-buku takhrij), yang diantaranya adalah :
1. Takhrij Ahaadits Al-Muhadzdzab; karya Muhammad bin Musa Al-Hazimi Asy-Syafi'I (wafat 548 H). Dan kitab Al-Muhadzdzab ini adalah kitab mengenai fiqih madzhab Asy-Syafi'I karya Abu Ishaq Asy-Syairazi.
2. Takhrij Ahaadits Al-Mukhtashar Al-Kabir li Ibni Al-Hajib; karya Muhammad bin Ahmad Abdul-Hadi Al-Maqdisi (wafat 744 H).
3. Nashbur-Rayah li Ahaadits Al-Hidyah li Al-Marghinani; karya Abdullah bin Yusuf Az-Zaila'I (wafat 762 H).
4. Takhrij Ahaadits Al-Kasyaf li Az-Zamakhsyari; karya Al-Hafidh Az-Zaila'I juga (Ibnu Hajar juga menulis takhrij untuk kitab ini dengan judul Al-Kafi Asy-Syaafi fii Takhrij Ahaadits Asy-Syaafi).
5. Al-Badrul-Munir fii Takhrijil-Ahaadits wal-Atsar Al-Waqi'ah fisy-Syarhil-Kabir li Ar-Rafi'I; karya Umar bin 'Ali bin Mulaqqin (wafat 804 H).
6. Al-Mughni 'an Hamlil-Asfaar fil-Asfaar fii Takhriji maa fil-Ihyaa' minal-Akhbar; karya Abdurrahman bin Al-Husain Al-'Iraqi (wafat tahun 806 H).
7. Takhrij Al-Ahaadits allati Yusyiiru ilaihat-Tirmidzi fii Kulli Baab; karya Al-Hafidh Al-'Iraqi juga.
8. At-Talkhiisul-Habiir fii Takhriji Ahaaditsi Syarh Al-Wajiz Al-Kabir li Ar-Rafi'I; karya Ahmad bin Ali bin Hajar Al-'Asqalani (wafat 852 H).
9. Ad-Dirayah fii Takhriji Ahaaditsil-Hidayah; karya Al-Hafidh Ibnu Hajar juga.
10. Tuhfatur-Rawi fii Takhriji Ahaaditsil-Baidlawi; karya 'Abdurrauf Ali Al-Manawi (wafat 1031 H).
Contoh :
Berikut ini contoh takhrij dari kitab At-Talkhiisul-Habiir (karya Ibnu Hajar) :
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata,"Hadits 'Ali bahwasannya Al-'Abbas meminta kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam tentang mempercepat pembayaran zakat sebelum sampai tiba haul-nya. Maka Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam memberikan keringanan untuknya. Diriwayatkan oleh Ahmad, para penyusun kitab Sunan, Al-Hakim, Ad-Daruquthni, dan Al-Baihaqi; dari hadits Al-Hajjaj bin Dinar, dari Al-Hakam, dari Hajiyah bin 'Adi, dari 'Ali. Dan diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari riwayat Israil, dari Al-Hakam, dari Hajar Al-'Adawi, dari 'Ali. Ad-Daruquthni menyebutkan adanya perbedaan tentang riwayat dari Al-Hakam. Dia menguatkan riwayat Manshur dari Al-Hakam dari Al-Hasan bin Muslim bin Yanaq dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam dengan derajat mursal. Begitu juga Abu Dawud menguatkannya. Al-Baihaqi berkata,"Imam Asy-Syafi'I berkata : 'Diriwayatkan dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bahwasannya beliau mendahulukan zakat harta Al-'Abbas sebelum tiba masa haul (setahun), dan aku tidak mengetahui apakah ini benar atau tidak?'. Al-Baihaqi berkata,"Demikianlah riwayat hadits ini dari saya. Dan diperkuat dengan hadits Abi Al-Bakhtari dari 'Ali, bahwasannya Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,"Kami sedang membutuhkan lalu kami minta Al-'Abbas untuk mendahulukan zakatnya untuk dua tahun". Para perawinya tsiqah, hanya saja dalam sanadnya terdapat inqitha'. Dan sebagian lafadh menyatakan bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda kepada 'Umar,"Kami pernah mempercepat harta Al-'Abbas pada awal tahun". Diriwayatkan oleh Abu Dawud Ath-Thayalisi dari hadits Abi Rafi'" (At-Talkhiisul-Habiir halaman 162-163).
METODE TAKHRIJ
Dalam takhrij terdapat beberapa macam metode yang diringkas dengan mengambil pokok-pokoknya sebagai berikut :
Metode Pertama, takhrij dengan cara mengetahui perawi hadits dari shahabat
Metode ini dikhususkan jika kita mengetahui nama shahabat yang meriwayatkan hadits, lalu kita mencari bantuan dari tiga macam karya hadits :
1. Al-Masaanid (musnad-musnad) : Dalam kitab ini disebutkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh setiap shahabat secara tersendiri. Selama kita telah mengetahui nama shahabat yang meriwayatkan hadits, maka kita mencari hadits tersebut dalam kitab al-masaanid hingga mendapatkan petunjuk dalam satu musnad dari kumpulan musnad tersebut.
2. Al-Ma'aajim (mu'jam-mu'jam) : Susunan hadits di dalamnya berdasarkan urutan musnad para shahabat atau syuyukh (guru-guru) atau bangsa (tempat asal) sesuai huruf kamus (hijaiyyah). Dengan mengetahui nama shahabat dapat memudahkan untuk merujuk haditsnya.
3. Kitab-kitab Al-Athraf : Kebanyakan kitab-kitab al-athraf disusun berdasarkan musnad-musnad para shahabat dengan urutan nama mereka sesuai huruf kamus. Jika seorang peneliti mengetahui bagian dari hadits itu, maka dapat merujuk pada sumber-sumber yang ditunjukkan oleh kitab-kitab al-athraf tadi untuk kemudian mengambil hadits secara lengkap.
Metode Kedua, takhrij dengan mengetahui permulaan lafadh dari hadits
Cara ini dapat dibantu dengan :
1. Kitab-kitab yang berisi tentang hadits-hadits yang dikenal oleh orang banyak, misalnya : Ad-Durarul-Muntatsirah fil-Ahaaditsil-Musytaharah karya As-Suyuthi; Al-Laali Al-Mantsuurah fil-Ahaaditsl-Masyhurah karya Ibnu Hajar; Al-Maqashidul-Hasanah fii Bayaani Katsiirin minal-Ahaaditsil-Musytahirah 'alal-Alsinah karya As-Sakhawi; Tamyiizuth-Thayyibminal-Khabits fiimaa Yaduru 'ala Alsinatin-Naas minal-Hadiits karya Ibnu Ad-Dabi' Asy-Syaibani; Kasyful-Khafa wa Muziilul-Ilbas 'amma Isytahara minal-Ahaadits 'ala Alsinatin-Naas karya Al-'Ajluni.
2. Kitab-kitab hadits yang disusun berdasarkan urutan huruf kamus, misalnya : Al-Jami'ush-Shaghiir minal-Ahaaditsil-Basyir An-Nadzir karya As-Suyuthi.
3. Petunjuk-petunjuk dan indeks yang disusun para ulama untuk kitab-kitab tertentu, misalnya : Miftah Ash-Shahihain karya At-Tauqadi; Miftah At-Tartiibi li Ahaaditsi Tarikh Al-Khathib karya Sayyid Ahmad Al-Ghumari; Al-Bughiyyah fii Tartibi Ahaaditsi Shahih Muslim karya Muhammad Fuad Abdul-Baqi; Miftah Muwaththa' Malik karya Muhammad Fuad Abdul-Baqi.
Metode Ketiga, takhrij dengan cara mengetahui kata yang jarang penggunaannya oleh orang dari bagian mana saja dari matan hadits
Metode ini dapat dibantu dengan kitab Al-Mu'jam Al-Mufahras li Alfaadzil-Hadits An-Nabawi, berisi sembilan kitab yang paling terkenal diantara kitab-kitab hadits, yaitu : Kutubus-Sittah, Muwaththa' Imam Malik, Musnad Ahmad, dan Musnad Ad-Darimi. Kitab ini disusun oleh seorang orientalis, yaitu Dr. Vensink (meninggal 1939 M), seorang guru bahasa Arab di Universitas Leiden Belanda; dan ikut dalam menyebarkan dan mengedarkannya kitab ini adalah Muhammad Fuad Abdul-Baqi.
Metode Keempat, takhrij dengan cara mengetahui tema pembahasan hadits
Jika telah diketahui tema dan objek pembahasan hadits, maka bisa dibantu dalam takhrij-nya dengan karya-karya hadits yang disusun berdasarkan bab-bab dan judul-judul. Cara ini banyak dibantu dengan kitab Miftah Kunuz As-Sunnah yang berisi daftar isi hadits yang disusun berdasarkan judul-judul pembahasan. Kitab ini disusun oleh seorang orientalis berkebangsaan Belanda yang bernama Dr. Arinjan Vensink juga. Kitab ini mencakup daftar isi untuk 14 kitab hadits yang terkenal, yaitu :
1. Shahih Bukhari
2. Shahih Muslim
3. Sunan Abu Dawud
4. Jami' At-Tirmidzi
5. Sunan An-Nasa'i
6. Sunan Ibnu Majah
7. Muwaththa' Malik
8. Musnad Ahmad
9. Musnad Abu Dawud Ath-Thayalisi
10. Sunan Ad-Darimi
11. Musnad Zaid bin 'Ali
12. Sirah Ibnu Hisyam
13. Maghazi Al-Waqidi
14. Thabaqat Ibnu Sa'ad
Dalam menyusun kitab ini, penyusun (Dr. Vensink) menghabiskan waktunya selama 10 tahun, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan diedarkan oleh Muhammad Fuad Abdul-Baqi yang menghabiskan waktu untuk itu selama 4 tahun
PENYELEWENGAN TAFSIR DALAM MASYARAKAT DI MALAYSIA
Oleh : Muhammad bin Haji Ismail
Jabatan Pengajian Al-Qur'an dan As-Sunnah, UKM
بسم الله الرحمن الرحيم
.الحمد الله رب العالمين والصلاة والسلام على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم تسليما كثيرا
Sebelum memperkatakan sesuatu mengenai penyelewengan Tafsir Al-Qur'an di Malaysia terlebih dahulu perlu dijelaskan tentang ta'rif tafsir dan perbezaan antara tafsir dan takwil juga kaedah-kaedah pentafsiran Al-Qur'an menurut cara yang betul serta ilmu-ilmu yang diperlukan bagi seseorang Mufassir (pentafsir). Semoga dengan garis panduan ini akan dapat menilai sesuatu tafsiran itu sama ada betul atau tidak.
Pengertian Tafsir Menurut Bahasa
At-Tafsir menurut bahasa :" كشف لمرا د " (menerangkan sesuatu).
Firman Allah Ta'ala:
" ولا يأتونك إلا جئناك بالحق وأحسن تفسيرا "
yang bermaksud :
"Dan mereka tidak membawa kepada Mu sesuatu kata-kata ganjil (untuk menentangmu ) melainkan Kami bawakan kepada kebenaran dan penjelasan yang sebaik-baiknya untuk menangkis segala yang mereka katakan itu "
Pengertian Tafsir Menurut Istilah
Setengah ulama' berpendapat ilmu tafsir bukanlah sesuatu yang ilmu yang boleh ditafsirkan seperti ilmu-ilmu yang lain malah ilmu Tafsir lebih merupakan ملكة(باكة) , kerana demikian cukuplah sebagai takrifan : Menerangkan Kalam Allah atau menerangkan lafaz-lafaz al-Qur'an dan mafhumnya.
Walaubagaimanapun setengah ulama' cuba mentafsirkan 'Tafsir' dengan berbagai takrif. Antaranya ialah takrif yang diberikan oleh Abu Hayyan dalam kitabnya 'al-Bahru al-Mahith' sebagai berikut:
"Ilmu Tafsir ialah ilmu yang membicarakan tentang bagaimana hendak menuturkan perkataan-perkataan Al-Qur'an (dari segi tajwid) dan memberikan makna menurut keadaan perkataan dan hukuman-hukuman pada ketika ia satu perkataan (مفرد) dan pada ketika bersusun (مركب) dan makna-makna yang boleh diertikan pada ketika hakikat atau majaz. Juga membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan nasikh dan mansukh dan sabab nuzul.
Dari takrifan yang diberikan oleh Abu Hayyan di atas jelas menunjukkan bahawa mentafsirkan Al-Qur'an itu mengandungi penjelasan, huraian, cara membacanya mengikut tajwidnya, menghuraikan maksud-maksud ayat sesuai dengan keadaan perkataan ketika ( مفرد) dan pada ketika ( مركب) , menghuraikan makna-makna hakiki dan majazi dan menghuraikan ayat-ayat naskh dan mansukh juga sabab nuzulnya.
Pengertian Ta'wil menurut Istilah
Ta'wil menurut bahasa ialah rujuk (kembali). Manakala ertinya dari sudut Istilah ialah memalingkan makna sesuatu perkataan dari makna yang rajih (kuat) kepada makna yang marjuh ( dhaif ) berdasarkan kepada dalil-dalil yang disertakan.
Yang dimaksudkan dengan ta'wil disini ialah memalingkan makna sesuatu perkataan daripada makna asal kepada makna yang lain yang sesuai berdasarkan kepada dalil-dalil yang menunjukkan bahawa ia tidak sesuai diertikan dengan makna yang asal.
Antara Salafussoleh dan Ulamak Islam yang mentakwilkan ayat mutasyabihat :
1. Imam Malik dan Auza’i r.a.-yang mana mereka menta’wilkan ayat-ayat mutasyabihat dalam kondisi-kondisi tertentu:
bahawa, ta’wil bagi nuzul (turunnya) Allah s.w.t. ada dua ta’wil. Salah satunya (ta’wil Imam Malik r.a.) ialah: turutnya rahmat Allah s.w.t. urusan dan para malaikatNya…”
(Syarah Sahih Muslim 6/36-37)
2. Imam Ad-Dhihak r.a. dan Abu Ubaidah r.a. menta’wilkan firman Allah s.w.t.:
“Setiap benda akan musnah kecuali WajahNya”. Wajah Allah s.w.t. dalam ayat tersebut bermaksud: ZatNya.
(Daf’u Syibahu At-Tasybih oleh Imam Ibn Jauzi: 31).
3. Telah diriwayatkan secara ma’thur bahawa tafsiran sebahagian salafus soleh, terhadap ayat “Dia sentiasa bersama kamu di mana kamu berada” dengan makna, bersama makhluk dengan ilmuNya (bukan dengan zatNya).” (Dr Yusuf Al Qardhawi, Fusulun fil Aqidah: 84).
4. Dalam ayat
“Dan langit itu Kami (Allah) dirikan dengan ayydin (tangan-tangan dalam Bahasa Melayu)…”
Imam Ibn Abbas r.a. menta’wilkan aydin dengan makna kekuasaan. (Tafsir At-Tabari: 27/6)
5. Dalam ayat berbunyi: “Telah datang Tuhanmu” (Al-Fajr: 22), Imam Ahmad bin Hanbal r.a. telah menta’wilkannya dengan makna: telah datang pahala (dari) Tuhanmu” (Al-Bidayah wa An-Nihayah: 10/328)
6. Imam Mujahid r.a. menta’wilkan perkataan “janbi” (dalam maksud bahasa bererti pada sisi) Allah s.w.t., dalam ayat surah Az-Zumar ayat 56, dengan maksud: perintah Allah s.w.t.. (Tafsir At-Tabari 24/13).
7. Daripada Abu Hurairah RadiyaLlahu 'anhu bahawa RasuluLLah sallaLlahu 'alaihi wasallam bersabda :
يضحك ألله إلى رجلين يقتل أحدهما الأخر كلاهما يدخل ألجنة, فقالو كيف يا رسول الله؟ قال : يقاتل هذا في سبيل الله فيستشهد ثم يتو ب الله على القاتل فيسلم فيقاتل في سبيل الله فيستشهد
Ertinya : ALlah merahmati dua orang lelaki; salah seorang di antara keduanya membunuh yang lain, lalu kedua-duanya masuk syurga. Para sahabat radiyaLlahu 'anhum bertanya, Bagaimanakah boleh jadi begitu , wahai RasuluLlah?" Jawab baginda sallaLlahu 'alaihi wasallam, "Lelaki ini telah terbunuh pada jalan Allah, maka dia mati syahid. Kemudian si pembunuh tadi bertaubat kepada ALlah dan memeluk Islam, maka ALlah menerima taubatnya. Selepas itu dia pergi berperang pada jalan ALlah, maka dia mati syahid.
Imam al Bukhari telah mentakwilkan perkataan الضحك yang pada bahasa adalah ketawa dengan makna الرحمة rahmat (Al Asma' wa As Sifat, H 470, Dar Ihya' Al Turath al Arabi. Fath al Bari bi Syarh Sohih Al Bukhari Jilid 6 H : 123-124. Sahih Muslim bi Syarh Imam An Nawawi Jilid 15 H : 32-33.
Perbezaan antara Tafsir dengan Ta'wil
Para ahli Tafsir tidak sepakat dalam membezakan antara Tafsir dengan Ta'wil. Antara mereka ada yang mengatakan antara keduanya tiada perbezaan. Menurut Abu Thalib As-Sya'labi, Tafsir ialah menerangkan kedudukan sesuatu lafaz samada hakiki atau majazi. Manakala, Ta'wil ialah menerangkan makna Batin.
Dengan ini maka perkataan Ta'wil adalah diambil dari perkataan: al-Awwal, ertinya rujuk. Ertinya, Ta'wil itu ialah merujukkan kepada natijah sesuatu perkataan-perkataan. Contohnya: yadun (tangan) dita'wilkan kepada kekuatan / kekuasaan.
Terjemahan Al-Quran
Terjemahan menurut bahasa mempunyai dua pengertian :
Pertama : memindahkan akan percakapan dari suatu bahasa kepada bahasa yang lain
tanpa memberi keterangan dan penjelasan, serta menjaga susunan dan tertib
ayat. Ia bukanlah menukar makna bagi perkataan tetapi menukar akan lafaz
semata-mata serta mengikut yang asalnya dengan sempurna dan inilah yang
istilahnya dengan terjemahan Harfiah.
Kedua : mentafsirkan akan sesuatu percakapan dengan bahasa yang lain tanpa
menjaga susunan dan tertibnya yang asal dan tidak menjaga kesempurnaan
maknanya tetapi terikat dengan yang asal. Ia hanya sebagai mengulas dan
mentafsirkan perkataan asal dengan bahasa yang lain dan inilah yang
diistilahkan dengan terjemah maknawiah ( terjemah makna ).
Perbezaan Antara Terjemah Harfiah Dan Terjemah Maknawiah:
1) Terjemah Harfiah adalah terpisah dari yang asal dan tidak memerlukan kepada yang asal, kerana terjemahan itu sudah menepati yang asal dari segi makna. Adapun terjemah Maknawiah ia sentiasa terikat dengan yang asal kerana ia sebagai menghuraikan dan mentafsirkan yang asal.
2) Terjemah Harfiah tidak boleh dimasukkan sebarang perkataan yang lain secara istidrod 1. Kerana terjemahan Harfiah ini mestilah menepati yang asal dalam segalanya dan apabila membaca terjemahannya maka seolah-olahnya membaca yang asal.
3) Terjemahan Harfiah mestilah mengandungi makna-makna dan maksud yang asal.
4) Terjemahan Harfiah mestilah dijaga susunan ayatnya seperti yang asal dan juga tertib ayatnya.
Menterjemahkan Quran secara Harfiah tidak mungkin dilakukan, kerana al-Quran mengandungi mkjizzat-mukjizat dari segi lafaz, makna, susunan dan lain-lain. Dengan demikian tidak mungkin dapat dipindahkan ke dalam bahasa yang lain dari bahasa Al-Quran kepada apa-apa yang terkandung dalam ayat-ayat al-Quran.
Adapun menterjemahkan al-Quran secara maknawiah dengan bahawa mentafsirkan al-Quran dengan bahasa yang lain daripada bahasa Arab yang diistilahkan dengan terjemah Tafsiriah maka harus dilakukan bila mencukupi syaratnya.
Terjemahan Tafsir
Apa yang dilakukan oleh para penterjemah al-Quran pada hari ini seperti pimpinan Ar-Rahman kepada pengertian al-Quran keluaran Jabatan Perdana Menteri (Pusat Islam) dan lain-lain adalah termasuk di dalam erti kata terjemah tafsiriah kerana ia menerangkan maksud al-Quran dengan bahasa yang lain dari bahasa Al-Quran tanpa menjaga susunan asal bagi Al-Quran dan tidak pula merangkum semua makna yang dimaksudkan oleh al-Quran dan ia tidak lebih dari erti tafsiran bagi ayat-ayat al-Quran sekadar kemampuan dan mentafsirkan al-Quran adalah diharuskan bagi mereka yang mencukupi bagi syarat-syarat seorang mufassir.
Muktazilah
Muktazilah adalah satu dari mazhab-mazhab akidah yang diasaskan oleh Wasil bin 'Ata' dalam tahun 80 Hijrah dan wafat dalam tahun 130 Hijrah iaitu dalam masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik.
Wasil bin 'Ata' adalah murid kepada Hasan al-Basri. Beliau telah menarik diri dari majlis gurunya lalu mengasaskan muktazilahnya.
Beberapa contoh tafsiran Muktazilah
Muktazilah menafikan orang-orang beriman dapat melihat Allah di dunia dan di akhirat. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta'ala:
"قال رب أرنى أنظر إليك قال لن ترانى " 2
yang bermaksud:
"Maka Nabi Musa dengan berkata: wahai tuhan ku perlihatkanlah kepadaku zat Mu yang Maha Suci supaya aku dapat memandang kepada Mu, Allah menjawab : engkau tidak sekali-kali dapat melihatku"
Mereka menafikan penglihatan itu berdasarkan kepada tafsiran mereka akan perkataan " لن " yang menafikan masa sekarang dan akan datang.
Dalam perkara menyuruh menyuruh kepada perkara ma'ruf dan mencegah kemungkaran maka tafsiran Muktazilah berbeza dengan tafsiran ulama'-ulama' ahli as-sunnah wal-jemaa'h. Di mana muktazilah berpendapat bahawa menyuruh kepada perkara yang ma'ruf dan mencegah perkara kemungkaran mestilah dengan hati terlebih dahulu, kemudian dengan lidah, kemudian dengan tangan dan sekiranya tidak mencukupi dengan lidah dan tangan maka dengan menggunakan pedang. Mereka tidak membezakan antara yang berkuasa dengan tidak berkuasa 1. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta'ala:
" وإن طائفان اقتلوا فأصلحوا بينهما فإن بغت احدهما على الأخرى فقاتلوا التى تبغى حتى تفىء إلى أمر الله " yang
bermaksud:
" Dan jika dua puak dari orang yang beriman berperang maka damaikanlah di antara keduanya dan jika salah satu di antara keduanya berlaku zalim terhadap yang satu lagi maka lawanlah puak yang zalim itu sehingga ia kembali mematuhi perintah Allah "
Mereka mentafsirkan perkataan "الإبل" dengan awan 1 dalam firman Allah Ta'ala:
" أفلا ينظرون إلى الإبل كيف خلقت"
yang bermaksud:
"Mengapa mereka yang kafir masih mengengkari Akhirat tidakkah mereka memperhatikan kepada unta bagaimana ia diciptakan"
Golongan Muktazilah berpegang kepada akal fikiran sebagai asas benar atau salah, baik atau buruk sesuatu perkara malah mereka sanggup menolak hadith-hadith sahih yang bercanggah dengan pemikiran akal mereka.
Dari berbagai-bagai tafsiran yang dibuat oleh golongan mazhab politik, akidah dan pemikiran ternyata bahawa sesuatu idologi yang dianuti oleh seseorang , sangat memberi kesan terhadap tafsiran ayat-ayat al-Qur'an dan inilah yang menjadi saalah satu sebab berlakunya penyelewengan dalam mentafsiran ayat suci al- Qur'an.
QADYANI
Golongan Qadyani telah menyebarkan suatu risalah yang ditulis oleh seorang lelaki yang bernama Muhammad Zain bin Hasan dibeberapa buah masjid di sekitar Kuala Lumpur dua tahun yang lalu. Risalah itu bertajuk "Alam Sebagai Saksi".
Penulis risalah tersebut telah membela Mirza Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahadi dengan membawa firman Allah s.w.t:
"ولو تقول علينا بعض الأقاول لأخذنا باليمين ثم لقطعنا منه الوتين"
yang bermaksud:
"Dan sekiranya Nabi Muhammad itu menyampaikan al-Qur'an meperkatakan nama Kami secara dusta (sebarang kata-reka ), sudah tentu Kami akan membentangnya dengan kekuasaan Kami "
Penulis risalah ini mendakwa bahawa berdasarkan kepada ayat ini di atas sekiranya dakwaan Mirza Ghulam Ahmad yang mengatakan bahawa beliau menerima wahyu dari Allah itu dusta, sudah tentu beliau akan menerima hukuman dari Allah dan segala pekerjaan akan dibinasakan oleh Allah.
Penulis risalah tersebut juga mendakwa bahawa bala-bala yang menimpa umat manusia pada hari ini adalah berpunca dari penolakan terhadap Mirza Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahadi dan perutusan Allah dan tidak memberi membai'ah kepadanya. Beliau membawa dua potong ayat al-Qura'an sebagai dalilnya.Firman Allah:
وإن من قرية إلا نحن مهلكوها قبل يوم القامة أو بعد يوما عذابا شديدا كان ذلك الكتاب مسطورا "
yang bermaksud:
"Dan tidak satu negeri pun melainkan akan kami binasakan sebelum hari Kiamat atau mengazabnya dengan siksaan yang sangat keras, demikian ini telah tersebut di dalam Kitab."
Dan firman Allah:
" من اهتدى فإنما يهتدى لنفسه ومن ضل فإنما يضل عليها ولا تزرو وازرة وزر أخرى وما كنا معذبين حتى نبعث رسولا"2
yang bermaksud:
"Sesiapa yang mengikut jalan yang benar maka ia ikuti hanya untuk kemanfaatan dirinya sendiri dan barangsiapa sesat maka kesesatan hanya kemudaratan atas dirinya sendiri dan tiada pemikul beban orang lain dan Kami tidak akan menimpakan azab sebelum Kami mengirimkan seorang rasul."
Dengan dalil-dalil yang dibawa oleh penulis risalah tersebut ternyata suatu penyelewengan dalam mentafsirkan ayat-ayat al-Qur'an. Penulis risalah tersebut mentafsirkan ayat:
" سنة الله فى الذين خلو من قبل ولن تجد لسنة تبديلا "
yang bermaksud:
"Sunnah Allah s.w.t ini tidak berubah-ubah jadi sudah pasti Sunnah Allah s.w.t ini akan berlaku terus-menerus dan sudah pasti Allah s.w.t akan mengutus rasul-rasul lagi."
Penulis tersebut membuat kesimpulan mengenai ayat tersebut dengan berkata:
"Pangkat nabi yang menjalankan syariat Nabi Muhammad s.a.w tentunya sentiasa terbuka kepada umat Islam dan Nabi Isa a.s yang kedua itu adalah dari kalangan umat Islam sendiri. Nabi Muhammad adalah Khatimul Anbiyak. Baginda adalah penghabisan nabi yang membawa syariat, syariatnya yang dipakai sehingga hari Kiamat."
Inilah sebahagian dari tafsiran yang penyelewengan yang dilakukan oleh para pengikut Qadyani di Malaysia.
Selain dari tafsiran-tafsiran yang menyeleweng yang dapat dikesan melalui penulisan yang dilakukan oleh segelintir ahli-ahli Tarikat di Malaysia ini maka terdapat juga beberapa tafsiran yang menyeleweng yang dapat dikesan melalui ceramah-ceramah dan perbincangan yang dilakukan oleh segelintir ahli-ahli politik untuk memperkuatkan kedudukan parti mereka. Antara yang dapat dikesan ialah: Ada di kalangan mereka mentafsirkan firman Allah:
"يا أيها الذين آمنوا "
yang bermaksud:
" Wahai orang-orang beriman"
Dan firman Allah:
" لا تتخذ المؤمنون الكافرين أولياء من دون المؤمنين "
Yang bermaksud:
"Janganlah orang-orang beriman mengambil orang kafir sebagai teman rapat". Perkataan Auliya' di sini ditafsirkan dengan wali nikah.
Dan dipercayai masih banyak lagi tafsiran-tafsiran menyeleweng yang tidak dapat dikesan.
Rumusan
Dari apa yang telah dibentangkan ternyata bahawa penyelewengan dalam mentafsirkan ayat-ayat al-Qur'an sering berlaku pada setiap masa dan ketika selagi para mufassir terikat dengan suatu ideologi dan tidak takut dengan amaran Rasullah s.a.w yang berbunyi:
" من قال فى القرءان برأيه فليتبوأ مقعدة فى النار"
[ رواه الترمذى ]
Yang bermaksud:
"Sesiapa bercakap tentang al-Qur'an dengan berdasarkan pandangan maka dipersilakan mengambil tempat di dalam Neraka."
Cadangan:
1. Penyelewengan tafsir al-Qur'an perlu didedahkan kepada masyarakat.
2. Pihak berkuasa sewajibnay bertindak terhadap mereka yang mempermainkan al-Qur'an dengan mentafsirkan tanpa menurut kaedah dan syaratnya.
Takhrij al-hadis sahkan kesahihan hadis
Oleh DR. MOHD. NIZAM SAHAD
* DR. MOHD NIZAM SAHAD ialah pensyarah Pengajian Islam, Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan, Universiti Sains Malaysia
SEMUA mengetahui secara umum bahawa al-Quran dan hadis sahih adalah sumber pengetahuan dan perundangan Islam yang autentik. Al-Quran merupakan wahyu Allah yang dijamin dan dipelihara daripada diubah-ubah oleh manusia.Sebagaimana firman Allah swt:
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Quran, dan Kamilah yang memelihara dan menjaganya. (al-Hijr: 9)
Kebenaran wahyu dalam al-Quran adalah bersifat mutlak dan keimanan kepada ayat-ayat atau kalam Allah adalah wajib. Al-Sunnah pula merupakan perkataan, perbuatan dan taqrir (perakuan) Nabi Muhammad saw. Al-Sunnah juga berfungsi menjadi penjelas, penguat, penghurai nas-nas al-Quran.
Al-Sunnah juga merupakan wahyu daripada Allah swt sesuai dengan firman-Nya:
Dan ia (Nabi Muhammad s.a.w) tidak memperkatakan (sesuatu yang berhubung dengan agama Islam) menurut kemahuan dan pendapatnya sendiri. (al-Najm: 3)
Ringkasnya al-Quran dan al-Sunnah merupakan dua sumber perundangan atau syariat bagi umat Islam.
Al-Sunnah dalam sejarah penulisan dan pembukuannya menghadapi cabaran dari sudut campur aduk sehingga melahirkan hadis-hadis palsu atau maudu'. Hadis palsu merupakan hadis yang direka oleh musuh Islam, terutamanya daripada golongan zindiq dan hadis tersebut disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.
Perbuatan golongan ini merupakan satu pendustaan dan sikap keji untuk memusnahkan kefahaman umat Islam terhadap agamanya. Hamad bin Raid Ibnu Darham al-Azdi berkata: "Orang-orang Zindiq memalsukan hadis-hadis Rasulullah saw sebanyak 14,000 hadis".
Menurut Ibn 'Addi pula ketika Abd. al-Karim bin Abi al-'Auja' ditangkap dan kemudiannya diserahkan kepada Muhammad bin Sulaiman bin Ali yang memerintahkan supaya dipenggal lehernya, berkatalah ia: "Demi Allah! Aku telah memalsukan hadis sebanyak 4,000 hadis".
Hadis-hadis palsu ini amat bahaya kepada umat Islam kerana ia membuka peluang paling terbuka kepada kesesatan dan syirik kepada Allah. Apatah lagi hadis-hadis palsu yang berhubung dengan akidah dan usuluddin.
Sebab itulah para ulama hadis dalam ilmu mustalah hadis mengkategorikan hadis kepada beberapa jenis. Antaranya ialah hadis sahih, hasan, daif mahupun maudu'.
Bagi menilai kesahihan hadis dan darjahnya serta sanad yang meriwayatkan matannya (teks hadis), para ulama menggunakan satu kaedah yang dinamakan takhrij al-hadis. Ilmu takhrij hadis ini menjadi satu keperluan untuk dipelajari dan diketahui umat Islam bagi menilai kesahihan dan sumber hadis Nabi Muhammad saw.
Definisi Takhrij Hadis
Menurut pakar bidang hadis di Universiti Sains Malaysia, Prof. Madya Dr. Mohd. Radzi Othman, takhrij hadis didefinisikan sebagai suatu usaha untuk memastikan asal-usul sesebuah hadis itu melalui kitab-kitab hadis yang muktabar dengan sanadnya yang lengkap daripada pengarangnya hinggalah kepada Nabi Muhammad saw.
Dengan kata lain, ia merupakan suatu proses mengeluarkan semula seberapa banyak maklumat tentang asal-usul sesebuah hadis itu secara bersama apabila setiap hadis itu dinyatakan. Sementara itu, Dr. Abdul Hayei Abdul Shukor pula mendefinisikan takhrij hadis sebagai "menunjukkan tempat adanya hadis dalam sumber-sumber asal yang dikeluarkannya dengan sanad, kemudian menyatakan kedudukannya ketika diperlukan."
Sejarah Takhrij
Sejarah bermulanya takhrij hadis agak lewat. Pada zaman awal Islam terutamanya pada zaman kelahiran kitab-kitab hadis yang bermula pada awal abad ke-2 Hijrah sehingga zaman kecemerlangannya pada abad ke-3 Hijrah, kitab-kitab takhrij hadis masih belum wujud.
Ini kerana para ulama hadis ketika itu tidak memerlukan kitab takhrij hadis lantaran keilmuan mereka yang begitu luas dan ingatan yang mendalam dan kuat mengenai hadis dan kitab-kitab hadis serta metodologi penulisannya.
Mereka berkemampuan mengenal pasti sumber hadis dan kedudukan sesebuah hadis. Apatah lagi hadis-hadis pada ketika itu masih diterima dan diriwayatkan secara bersanad daripada syaikh atau guru-guru mereka. Keadaan ini berterusan sehingga beberapa abad lamanya sehingga sampai kepada satu keadaan yang memerlukan kepada kaedah-kaedah tertentu bagi tujuan memudahkan usaha mendapatkan sesebuah hadis.
Keadaan demikian timbul setelah ramai para ulama dan huffaz hadis meninggal dunia dan pengetahuan mengenai hadis dan kitab-kitab hadis berkurangan. Apatah lagi dengan kemunculan pelbagai karya agama yang memuatkan hadis tanpa sanad dalam pelbagai bidang. Ini menyebabkan usaha untuk mengenal pasti sumber dan status sesebuah hadis menjadi semakin sukar.
Berdasarkan faktor inilah ulama hadis telah berusaha mencipta beberapa kaedah dan metod bagi memudahkan para penuntut ilmu khususnya pencinta hadis untuk merujuk dan mengenal pasti sumber dan status sesebuah hadis. Secara umumnya, ilmu takhrij ini mula diperkenalkan pada abad ke-6 Hijrah. Kitab takhrij yang pertama dihasilkan ialah kitab Takhrij Ahadith al-Muhadhdhab fi al-Fiqh al-Syafi'i li al-Syirazi oleh Muhammad bin Musa al-Hazimi (m.584H).
Kemudiannya kitab-kitab takhrij semakin bertambah khususnya pada abad ke-8 Hijrah. Antara yang paling masyhur ialah kitab Nasb al-Rayah li Ahadith al-Hidayah oleh Al-Hafiz al-Zaili, al-Mughni 'an Haml al-'Asfar fi al-'Asfar fi takhrij ma fi al-Ihya' min al-Akhbar oleh al-Hafiz al-Iraqi (m.806H), al-Talkhis al-Habir fi Takhrij Ahadith al-Rafi' al-Kabir oleh al-Hafiz Ibn Hajar (m.852H) dan Manahil al-Safa fi Takhrij Ahadith al-Syifa' li al-Qadi 'Iyad oleh al-Suyuti (m.911H).
Kemunculan kitab-kitab takhrij ini terus berkembang sehingga lahir pelbagai jenis kitab takhrij berdasarkan kepada kaedah-kaedah tertentu. Antaranya ialah kitab al-Jami' al-Saghir oleh al-Sayuti dan kitab al-Mu'jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadith al-Nabawi yang ditulis oleh sekumpulan orientalis diketuai Anderjan Winsenk (m.1939) dengan kerjasama Muhammad Fuad Abd al-Baqi.
Dewasa ini dengan kemunculan komputer dan perisian, para sarjana Islam mengambil peluang menerokai bidang takhrij hadis dengan cuba mengadakan perisian-perisian bagi memudahkan proses mentakhrijkan hadis. Melalui CD-Rom usaha untuk mentakhrijkan hadis pada masa kini menjadi lebih mudah dan cepat.
Kepentingan
Dalam kalangan ahli akademik, terutamanya dalam penulisan ilmiah yang melibatkan penulisan tesis, jurnal, kertas kerja dan sebagainya, aplikasi takhrij hadis memang merupakan satu kemestian. Elok juga, sekiranya kemestian itu dipanjangkan secara sedar dan bertanggungjawab terhadap pengkarya dan penulis dalam penulisan artikel dalam apa jua genre sekiranya mereka memetik hadis-hadis Nabi Muhammad saw. Sekurang-kurangnya mereka hendaklah menggunakan metod termudah dalam takhrij hadis dengan menyatakan sumber ringkas asal-usul dan darjah hadis. Kepentingan takhrij hadis ini amat penting dalam suasana bagi menilai kesahihan sumber hadis rentetan serangan-serangan musuh-musuh Islam dari luar dan dalam yang mencipta hadis-hadis palsu.
Selain itu, mengaplikasikan metod takhrij hadis memberi beberapa manfaat lain seperti dapat mengetahui lafaz sebenar hadis sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah s.a.w. Ini kerana kemungkinan hadis tersebut disebut secara ringkas atau dengan maknanya sahaja. Pemahaman terhadap hadis menjadi lebih baik dengan mengetahui sebab timbulnya hadis dan latar belakang peristiwa yang mendasari hadis. Ini kerana perkara tersebut hanya disebut dan diterangkan dalam kitab asal hadis atau syarahnya.
Di samping itu juga, dengan mentakhrij hadis kita dapat mengumpul sebanyak mungkin riwayat hadis yang membicarakan topik yang sama tetapi berlainan lafaz, riwayat dan sanad. Akhirnya, dengan adanya keikhlasan penulis untuk menyatakan sumber petikan hadis dari kitab asalnya setelah melakukan proses takhrij hadis, ia dapat menambah keyakinan umat Islam terhadap apa yang dibahas dan dibicarakan tentang hadis-hadis yang dipetik.
Kesimpulan
Oleh yang demikian adalah disarankan kepada semua pihak terutamanya para penulis artikel sama ada ilmiah atau pun tidak supaya sentiasa berhati-hati dalam menukilkan hadis Nabi saw. Adalah lebih baik dan beramanah kepada junjungan besar Nabi Muhammad saw, sekiranya kita menyemak terlebih dahulu hadis yang ingin diketengahkan kepada masyarakat agar ia benar-benar bersumberkan dari Nabi Muhammad saw.
Dalam hal ini, pengetahuan tentang ilmu bagaimana mentakhrijkan hadis merupakan satu keperluan kepada mereka yang ingin menutur bicara hadis sama ada melalui lisan mahupun tulisan. Agar dengan sikap hati-hati itu kita terselamat dari dosa yang cukup besar dengan mendakwa sesuatu itu hadis dari Nabi saw, namun sebenarnya tidak sedemikian.