DONATE

Khamis, 18 September 2008

SYARIAH MENJAMIN KELESTARIAN HUTAN-petikan ahsani.blog

Selama ini, Indonesia masih diasumsikan sebagai Negara nomor 21 dalam penghasil emisi karbon. Tapi angka ini baru dihitung dari penggunaan bahan bakar fosil. Jika emisi lahan gambut dimasukkan, maka posisi Indonesia berada pada posisi ke-3. lahan gambut menyimpan 30% karbon yang ada di seluruh dunia. Staf Wetlands International Program Indonesia, Irwansyah Reza Lubis menyatakan, berdasar perhitungan mereka, pembakaran 1 ha gambut menghasilkan karbon sekitar 100 ton. Diperkirakan dari 22,5 juta ha lahan gambut, sekitar 10 juta ha telah dikeringkan, rusak atau bahkan terbakar. Dengan sifat gambut yang seperti spons maka pada saat pohon ditebang, dan akan dibuka lahan, terjadi subsidensi sehingga tanah gambut yang sifatnya hidrofobik tidak dapat lagi menyerap air dan kemudian mengering. Dalam proses ini, terjadi pelepasan dan sekaligus mengakibatkan lahan gambut rentan terhadap kebakaran yang pada gilirannya dapat menyumbangkan pelepasan emisi karbon lebih lanjut.

Ternyata, salah urus pengelolaan alam membuat Indonesia diperkirakan menjadi Negara penyumbang emisi karbon terbesar ke-3 di dunia. Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) menyebut bahwa laju perubahan tutupan lahan gambut disebabkan pemberian HPH, HTI, dan perkebunan sawit oleh penguasa. Oleh karena itu, hutan dianggap sebagai milik individu. Jadi, tidak heran jika kelestarian hutan tergadaikan oleh pengelolaan hutan yang berorientasi kepada materi. Inilah yang terjadi saat penguasa menerapkan system kapitalisme (segala sesuatu berorientasikan materi).

Lain halnya dengan sistem Islam, di mana seluruh aspek kehidupan diatur berdasarkan aturan Allah. Bahkan hingga pengelolaan hutan. Berikut ini beberapa ketentuan syariat Islam terpenting dalam pengelolaan hutan:

1. Hutan termasuk dalam kepemilikan umum, bukan milik individu atau Negara. “Kaum Muslim berserikat dalam 3 hal: air, padang rumput, dan api”.(HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah)

2. Pengelolaan hutan hanya dilakukan oleh Negara saja, bukan oleh pihak lain (swasta/asing). “Imam adalah penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaanya (rakyatnya)”. (HR. Muslim)

3. Pengelolaan hutan dari segi kebijakan politik dan keuangan bersifat sentralisasi, sedangkan dari segi administratif adalah desentralisasi (ditangani pemerintahan propinsi/wilayah).

4. Negara memasukkan segala pendapatan hasil hutan ke dalam Baitul Mal (kas Negara) dan mendistribusikan dananya sesuai dengan kemaslahatan rakyat dalam koridor hukum-hukum syariah.

5. Negara boleh melakukan kebijakan hima atas hutan tertentu untuk suatu kepentingan khusus. Hima adalah kebijakan negara memanfaatkan suatu kepemilikan umum untuk suatu keperluan tertentu, misalnya untuk keperluan jihad. Hal ini didasarkan pada hadits bahwa Rasulullah saw telah melakukan hima atas Naqi’ (nama padang gembalaan dekat Madinah) untuk kuda-kuda perang milik kaum Muslim (HR.Ahmad & Ibnu Hibban). Negara wajib melakukan pengawasan terhadap hutan dan pengelolaan hutan. Negara wajib mencegah segala bahaya (dharar) atau kerusakan (fasad) pada hutan. Negara berhak menjatuhkan sanksi ta’zir yang tegas atas segala pihak yang merusak hutan. Ta’zir dapat berupa denda, cambuk, penjara, bahkan sampai hukuman mati, bergantung pada tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya. Syariah mengatur sedemikian rincinya mengenai pengelolaan hutan. Dan sistem inilah yang akan di-terapkan dalam institusi Khilafah. Khilafah akan menjamin kemaslahatan ummat melalui penerapan syariah Allah dalam segala aspek kehidupan.

Tiada ulasan: