"Perintahkan anak-anakmu
mengerjakan sembahyang bila
dia berumur 7 tahun dan pukullah dia bilamana tidak mahu
mengerjakan sembahyang semasa berusia 10 tahun dan
pisahkan dari tempat tidur."
|
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ قَالَ عَرَضَنِى |
Dari Ibnu
Umar r.a. katanya : |
Hadis
sahih riwayat Muslim |
Tanda-tanda baligh untuk
laki-laki antara lain :
1.
Ihtilam, yaitu keluarnya mani baik karena mimpi atau karena
lainnya.
Dalilnya antara lain adalah :
a)
Firman Allah ta’ala :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلاثَ مَرَّاتٍ مِنْ قَبْلِ
صَلاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ
صَلاةِ الْعِشَاءِ ثَلاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلا عَلَيْهِمْ
جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ طَوَّافُونَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ كَذَلِكَ
يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ * وَإِذَا بَلَغَ الأطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا
كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
”Hai
orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu
miliki, dan orang-orang yang belum mencapai ”hulm” (ihtilaam) di antara kamu,
meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang
subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)-mu di tengah hari dan sesudah
sembahyang Isya. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan
tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu,
sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah
Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana. Dan apabila anak-anakmu telah sampai ”hulm” (ihtilaam/usia baligh),
maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka
meminta ijin”
[QS. An-Nuur : 59].
Segi pendalilan dari ayat ini adalah bahwa hulm (ihtilam) dijadikan batas kewajiban bagi seorang anak untuk meminta
ijin di semua waktu ketika ia hendak memasuki kamar orang tuanya. Ini adalah
asal hukum dalam minta ijin (yaitu minta ijin sebelum masuk). Berbeda halnya
ketika ia belum mencapai hulm, maka
ia hanya dibebankan meminta ijin di tiga waktu saja, dan tidak mengapa baginya
jika ia masuk (tanpa ijin) di selain tiga waktu tersebut.
b)
Dari Abu Sa’id Al-Khudriy radliyallaahu ’anhu : Bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam
pernah bersabda :
غسل يوم الجمعة على كل محتلم، وسواك،
ويمس من الطيب ما قدر عليه
”Mandi
pada hari Jum’at (sebelum menunaikan shalat Jum’at) adalah kewajiban bagi
setiap orang yang telah ihtilam; demikian pula bersiwak dan memakai wewangian
semampunya”
[HR. Al-Bukhari no. 880 dan Muslim no. 846-7].
Ihtilaam
dijadikan batas taklif dalam syari’at. Begitu pula
dengan hadits-hadits di bawah :
c)
Dari Ali (bin Abi Thaalib) ’alaihis-salaam, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau
bersabda :
رفع القلم عن ثلاثة عن النائم حتى
يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يعقل
”Diangkat
pena (tidak dikenakan kewajiban) pada tiga orang, yaitu : orang yang tidur
hingga bangun, anak kecil hingga ihtilam, dan orang gila hingga berakal” [HR. Abu Dawud no. 4403 dan At-Tirmidzi no. 1423; shahih].
d) Dari
Mu’adz radliyallaahu ’anhu :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم بعثه
إلى اليمن وأمره أن يأخذ من كل حالم دينارا
”Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam mengutusnya ke Yaman dan memerintahnya
untuk mengambil dari setiap orang yang telah ihtilam satu dinar” [HR. An-Nasa’i
no. 2450, Al-Baihaqi dalam Al-Kubra
no. 19155, dan Ahmad no. 21532; shahih].
Para ulama telah sepakat bahwa ihtilam merupakan tanda kedewasaan bagi
anak laki-laki dan perempuan. Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
وقد أجمع العلماء على أن الاحتلام في
الرجال والنساء يلزم به العبادات والحدود وسائر الأحكام
“Para ulama telah sepakat/ijma’ bahwasannya ihtilaam pada laki-laki dan perempuan
mewajibkan dengannya (untuk diberlakukannya) ibadah, huduud, dan seluruh perkara hukum” [Fathul-Baariy, 5/277].
2.
Tumbuhnya Rambut Kemaluan.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini.
Madzhab Hanafiyyah berpendapat bahwa
tumbuhnya rambut kemaluan bukan merupakan tanda baligh secara mutlak [lihat Raddul-Muhtaar
5/97, Al-Bahrur-Raaiq 3/96, dan Syarh Fathil-Qadiir 9/276].
Madzhab Hanabilah dan satu riwayat dari Abu
Yusuf dari madzhab Hanafiyyah berpendapat bahwa tumbuhnya rambut kemaluan
merupakan tanda baligh secara mutlak
[lihat Al-Muharrar 1/347, Al-Furuu’ 4/312, Al-Inshaaf 5/320, Al-Mubdi’
4/332, Syarhul-Muntahaa 4/560, dan Raddul-Muhtaar 5/97].
Madzhab Malikiyyah terpecah menjadi dua
pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa tumbuhnya rambut kemaluan merupakan
tanda baligh secara mutlak, dan inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab
[lihat Asy-Syarhul-Kabiir 3/293 –
tercetak bersama Haasyiyyah Ad-Daasuqiy].
Pendapat kedua mengatakan bahwa ia merupakan tanda baligh yang menyangkut
hak-hak anak Adam dalam beberapa hukum seperti qadzaf (menuduh wanita baik-baik telah berbuat zina), potong
tangan, dan pembunuhan. Adapun yang menyangkut hak-hak kepada Allah ta’ala, maka ia bukan sebagai tanda
baligh [lihat Mawaahibul-Jaliil 5/59
dengan catatan pinggirnya : At-Taaj
wal-Ikliil 5/59].
Madzhab Syafi’iyyah berpendapat bahwa
tumbuhnya rambut kemaluan merupakan tanda baligh untuk orang kafir. Adapun bagi
muslimin, maka mereka berbeda pendapat. Satu pendapat mengatakan bahwa ia
merupakan tanda baligh sebagaimana orang kafir, dan pendapat lain – dan ini
yang shahih dalam madzhab – mengatakan bahwa ia bukan tanda baligh [lihat Mughnil-Muhtaaj 2/167, Raudlatuth-Thaalibiin 4/178, Al-Muhadzdzab 1/337-338, dan Al-Wajiiz 1/176].
Pendapat yang rajih dari keempat madzhab
tersebut adalah pendapat yang mengatakan bahwa tumbuhnya rambut kemaluan merupakan
tanda baligh secara mutlak bagi muslim atau kafir, baik menyangkut hak Allah
atau hak anak Adam. Adapun dalil yang dijadikan hujjah antara lain adalah :
a)
Dari ’Athiyyah, ia berkata
:
عرضنا على النبي صلى الله عليه وسلم
يوم قريظة فكان من أنبت قتل ومن لم ينبت خلي سبيله فكنت ممن لم ينبت فخلي سبيلي
“Kami dihadapkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada hari
Quraidhah (peristiwa pengkhianatan Bani Quraidhah), di situ orang yang sudah
tumbuh bulu kemaluannya dibunuh, sedang orang yang belum tumbuh dibiarkan. Aku
adalah orang yang belum tumbuh maka aku dibiarkan” [HR. At-Tirmidzi no. 1584, An-Nasa’i no. 3429, dan
yang lainnya; shahih].
b) Dari Samurah bin Jundub bahwasannya
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
اقتلوا شيوخ المشركين واستبقوا شرخهم
”Bunuhlah
orang-orang tua dari kalangan kaum musyrikiin dan biarkanlah syark”. [Abu Dawud no. 2670 dan At-Tirmidzi no. 1583; dla’if]. Syarkh adalah anak-anak yang belum tumbuh bulu kemaluannya.
Pembedaan antara orang kafir dan orang muslim
adalah pembedaan yang sangat lemah. Telah shahih dari beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam larangan
membunuh anak-anak orang kafir yang bersamaan beliau memerintahkan untuk
membunuh orang-orang yang telah tumbuh rambut kemaluannya – sehingga dapat
dipahami bahwa tumbuhnya rambut kemaluan merupakan tanda baligh bagi mereka.
Hukum baligh ini bersifat umum lagi mutlak. Oleh karena itu jika seorang imam
menangkap dan menghukum seorang pelaku bughat
dari kalangan muslimin, maka ia pun hanya boleh membunuh mereka yang telah
baligh, tidak pada anak-anak. Dan tanda baligh ini dapat diketahui salah
satunya dengan tumbuhnya rambut kemaluan pada mereka.
Begitu juga dengan pendapat Malikiyyah yang
membedakan antara hal Allah dan hak anak Adam. Jika dikatakan bahwa syari’at
telah melarang membunuh anak-anak dalam peperangan, maka ini merupakan
ketentuan yang datang dari Allah yang harus dipenuhi oleh manusia (kaum
muslimin). Tidak bisa dikatakan bahwa menjalankan perintah tersebut adalah
sebagai pemenuhan hak anak Adam, bukan pemenuhan hak Allah.
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :
وفي هذا بيان أن الإنبات علم على
البلوغ وعلى أنه علم في حق أولاد المسلمين والكفار وعلى أنه يجوز النظر الى عورة
الأجنبي للحاجة من معرفة البلوغ وغيره
”Dan dalam hal ini terdapat penjelasan bahwa
tumbuhnya rambut kemaluan adalah tanda balighnya seseorang, bagi anak-anak kaum
muslimin dan orang-orang kafir; dan juga menunjukkan bolehnya melihat aurat
orang lain bila diperlukan untuk mengetahui baligh dan tidaknya seseorang serta
untuk yang lainnya [lihat Tuhfatul-Maulud
bi Ahkaamil-Maulud oleh Ibnul-Qayyim hal. 210].
3.
Mencapai Usia Tertentu.
Para
ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Di antara pendapat-pendapat tersebut
antara lain :
a)
Madzhab Syafi’iyyah [Mughni-Muhtaaj 2/165, Raudlatuth-Thaalibiin 4/178, dan Al-Muhadzdzab 1/337-338], Hanabilah [Al-Muharrar 1/347, Al-Furuu’ 4/312, Al-Inshaaf
5/320, Al-Mubdi’ 4/332, dan Syarhul-Muntahaa 4/560]; pendapat yang
dipilih Ibnu Wahb dari madzhab Malikiyyah [As-halul-Madaarik
2/159 dan Mawaahibul-Jaliil 5/59],
Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan dari Hanafiyyah, serta satu riwayat dari
Abu Hanifah [Al-Bahrur-Raaiq 3/96 dan
Syarh Fathil-Qadiir 9/276] – yaitu
lima belas tahun untuk laki-laki dan perempuan.
b)
Delapan belas tahun untuk
laki-laki dan tujuh belas tahun untuk perempuan [Al-Bahrur-Raaiq 3/96 dan Syarh
Fathil-Qadiir 9/276].
c)
Madzhab Malikiyyah, ada
beberapa pendapat. Ada yang mengatakan delapan belas tahun untuk laki-laki dan
perempuan [Ashalul-Madaarik 3/159],
sembilan belas tahun, tujuh belas tahun, dan enam belas tahun [Mawaahibul-Jaliil 5/59 dan Haasyiyyah Ad-Dasuuqiy 3/293].
d)
Ibnu Hazm berpendapat
sembilan belas tahun [Al-Muhalla,
permasalahan no. 119].
Dalil yang dianggap paling shahih dan sharih oleh ulama yang memberikan batasan usia yang dibawakan dalam
permasalahan ini adalah hadits yang dibawakan oleh pendapat pertama (lima belas
tahun) dari Ibnu ’Umar radliyallaahu
’anhuma, ia berkata :
عرضني رسول الله صلى الله عليه وسلم
يوم أحد في القتال. وأنا ابن أربع عشرة سنة. فلم يجزني. وعرضني يوم الخندق، وأنا
ابن خمس عشرة سنة. فأجازني.
قال نافع: فقدمت على عمر بن
عبدالعزيز، وهو يومئذ خليفة. فحدثته هذا الحديث. فقال: إن هذا لحد بين الصغير
والكبير. فكتب إلى عماله أن يفرضوا لمن كان ابن خمس عشرة سنة. ومن كان دون ذلك
فاجعلوه في العيال.
”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam menunjukku untuk ikut serta dalam
perang Uhud, yang ketika itu usiaku empat belas tahun. Namun beliau tidak
memperbolehkan aku. Dan kemudian beliau menunjukku kembali dalam perang
Khandaq, yang ketika itu usiaku telah mencapai lima belas tahun. Beliau pun memperbolehkanku”.
Naafi’ berkata : ”Aku datang kepada ’Umar bin
’Abdil-’Aziz yang ketika itu menjabat sebagai khalifah, lalu aku beri tahu
tentang hadits tersebut. Kemudia ia berkata : ’Sungguh ini adalah batasan
antara kecil dan besar’. Maka ’Umar menugaskan kepada para pegawainya untuk
mewajibkan bertempur kepada orang yang telah berusia lima belas tahun,
sedangkan usia di bawahnya mereka tugasi untuk mengurus keluarga orang-orang
yang ikut berperang” [HR. Al-Bukhari no. 2664, Muslim no. 1868, Ibnu Hibban no.
4727-4728, dan yang lainnya].
Namun, hadits ini pun tidak menunjukkan
secara sharih bahwa usia lima belas tahun adalah batas usia baligh. Hadits ini
masih mengandung kemungkinan bahwa pelarangan Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam bukan karena faktor baligh, namun
karena masih kecilnya Ibnu ’Umar sehingga tidak dipandang mempunyai
kemampuan/kecakapan untuk berperang. Ini terlihat dari ijtihad ’Umar bin
’Abdil-’Aziz yang hanya menandakan usia tersebut sebagai batas besar dan kecil
untuk ikut berperang. Bukan baligh dan tidak baligh.
Pendapat yang rajih dalam permasalahan ini
adalah tidak ada batasan usia tertentu untuk baligh. Dan inilah pendapat yang
dikutkan Ibnul-Qayyim rahimahullah,
dimana beliau berkata :
وليس لوقت الاحتلام سن معتاد بل من
الصبيان من يحتلم لاثنتي عشرة سنة ومنهم من يأتي عليه خمس عشرة وست عشرة سنة وأكثر
من ذلك ولا يحتلم
”Untuk waktu ihtilaam tidak ada batas usianya, bahkan anak-anak yang berusia dua
belas tahun bisa ihtilaam. Ada juga yang sampai lima belas tahun, enam belas
tahun, dan seterusnya namun belum ihtilaam”
[Tuhfatul-Maudud hal. 208].
Kemudian beliau melanjutkan :
وقال داود وأصحابه لا حد له بالسن
إنما هو الاحتلام وهذا قول قوي
”Dawud (Adh-Dhahiriy) dan
shahabat-shahabatnya berkata : ’Tidak ada batasan tertentu untuk usia baligh.
Batas yang benar hanyalah ihtilam’.
Ini adalah pendapat yang kuat” [idem,
hal. 209].
Tanda-tanda baligh untuk
perempuan antara lain :
Adapun tanda balighnya anak perempuan bisa
sama seperti laki-laki, namun ditambah dengan keempatnya, yaitu haidl,
berkembangnya alat-alat untuk berketurunan, serta membesarnya buah dada. Para
ulama telah ijma’ bahwasannya haidl
merupakan tanda baligh bagi seorang wanita. Al-Haafidh berkata :
وقد أجمع العلماء على أن الحيض بلوغ في حق النساء
“Para ulama telah sepakat/ijma’ bahwasannya
haidl merupakan tanda baligh bagi wanita” [Fathul-Baariy,
5/277].
Kesimpulan :
Batas usia baligh bagi anak laki-laki dan
perempuan adalah ihtilam. Khusus,
bagi anak perempuan, atau ia telah mengalami haidl. Namun apabila ia sulit
mengetahui apakah orang tersebut telah ihtilam
(atau bagi anak perempuan ia terlambat haidl - atau bahkan tidak mengalami
haidl sama sekali), maka tanda balighnya diambil dari tumbuhnya rambut
kemaluan.
Bila anak sudah mengalami salah satu tanda di
atas, maka ia telah baligh yang dengan itu ia telah sampai pada usia taklif.
Wajib baginya mengerjakan ibadah dan seluruh amalan wajib. Adapun
sebelum itu, maka perintah hanyalah sebagai pembiasaan dan menjadikannya suka. Wallaahu a’lam.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan