DONATE

Jumaat, 8 Mei 2009

KELUARGA DALAM MASYARAKAT ISLAM: FIQH MUNAKAHAT


Berkeluarga adalah fitrah setiap manusia.

KELUARGA, SEBUAH SISTEM SOSIAL

Dalam pandangan manapun, keluarga dianggap sebagai elemen sistem sosial yang akan membentuk sebuah masyarakat. Adapun lembaga perkawinan, sebagai sarana pembentuk keluarga adalah lembaga yang paling bertahan dan digemari seumur kehadiran masyarakat manusia.

Berbeda dengan itu, Syekh Taqiyuddin An Nabhany dalam bukunya " Nizham Al Ijtimaa’i fil Islam ( Sistem Sosial dalam Islam ) " membedakan istilah sistem sosial ( Nizham Al Ijtimaiy ) dengan sistem sosial kemasyarakatan ( Anzimatul Mujtama’ ). Sistem sosial ( Nizham Al Ijtimaiy ) menurut beliau adalah seperangkat peraturan yang mengatur pertemuan antara pria dan wanita atau sebaliknya, dan mengatur hubungan yang muncul antara keduanya, serta segala sesuatu yang menyangkut hubungan tersebut. Sedangkan sistem sosial kemasyarakatan ( Anzimatul Mujtama’ ) adalah peraturan bagi masyarakat , yang mengatur hubungan yang terjadi antara sesama manusia yang hidup dalam masyarakat tertentu tampa diperhatikan pertemuan atau perpisahan diantara anggota masyarakat tersebut. Dari sinilah muncul berbagai macam peraturan yang berbeda-beda sesuai dengan jenis dan bentuk hubungan yang mencakup aspek ekonomi, hukum , politik, pendidikan, sanksi, perdagangan, peradilan dan lain sebagainya.4)

KELUARGA DALAM MASYARAKAT ISLAM

Perkawinan dari sudut pandang Islam merupakan sistem peraturan dari Allah SWT yang mengandung karunia yang besar dan hikmah yang agung. Melalui perkawinan dapat diatur hubungan laki-laki dan wanita ( yang secara fitrahnya saling tertarik ) dengan aturan yang khusus. Dari hasil pertemuan ini juga akan berkembang jenis keturunan sebagai salah satu tujuan dari perkawinan tersebut. Dan dari perkawinan itu pulalah terbentuk keluarga yang diatasnya didirikan peraturan hidup khusus dan sebagai konsekuensi dari sebuah perkawinan.

Islam telah memerintahkan dan mendorong untuk melakukan pernikahan. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra yang berkata bahwasanya Rosulullah SAW bersabda :

" Wahai para pemuda, barang siapa diantara kamu telah mampu memikul beban, maka hendaklah ia kawin, karena dengan menikah dapat menundukkan pandangan dan menjaga ke’hormatan’, dan barang siapa yang belum mampu hendaklah ia berpuasa, karena dengan puasa itu dapat menjadi perisai"

Dari pertemuan antara wanita dan pria inilah kemudian muncul hubungan yang berkait dengan kemaslahatan mereka dan kemaslahatan masyarakat tempat mereka hidup dan juga hubungannya dengan negara. Hal ini mengingat ciri khas pengaturan Islam ( syariat Islam ) atas manusia selalu mengaitkannya dengan masyarakat dan negara. Sebab definisi dari masyarakat sendiri adalah ‘ Kumpulan individu ( manusia ) yang terikat oleh pemikiran, perasaan dan aturan ( sistem ) yang satu ( sama )’ 5). Hal ini berarti dalam sebuah masyarakat mesti ada interaksi bersama antar mereka yang terjadi secara terus menerus dan diatur dalam sebuah aturan yang fixed. Rosulullah SAW telah menjelaskan status dan hubungan individu dengan masyarakat dengan sabdanya :

" Perumpamaan orang-orang Muslim , bagaimana kasih sayang yang tolong menolong terjalin antar mereka, adalah laksana satu tubuh. Jika satu bagian merintih merasakan sakit, maka seluruh bagian tubuh akan bereaksi membantunya dengan berjaga ( tidak tidur ) dan bereaksi meningkatkan panas badan ( demam ) "
( HR Muslim )

Oleh karena itu , Islam memandang individu-individu, keluarga, masyarakat dan negara sebagai umat yang satu dan memiliki aturan yang satu. Di mana dengan peraturan dan sistem nilai tersebut, manusia akan dibawa pada kehidupan yang tenang, bahagia dan sejahtera.

Syariat Islam sebagai aturan bagi individu muslim, keluarga, masyarakat dan negaranya, secara unik dan pasti dapat diterapkan di tengah kehidupan masyarakat manapun . Penerapan aturan tersebut tentu saja saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Jaminan terlaksananya penerapan syariat Islam dilandasi oleh beberapa asas di bawah ini : 6)

1. Keadilan Syariat Islam


Islam menjamin hak-hak keadilan manusia, sebagai makhluk paling mulia, mewujudkan kesejahteraan dan ketenangan jiwa yang hakiki, serta kebahagiaan hidup dan keterpeliharaan urusan mereka dalam Islam. Allah SWT berfirman :

" Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang beriman "
( QS Al-Isra : 82 )
Juga firman-Nya :

" Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada ( jalan ) yang lebih lurus..."
( QS Al-Isra : 9 )


Makna keadilan syariat Islam dipastikan karena aturannya bersumber dari Al-Kholik , Allah SWT yang tidak memiliki kepentingan apapun untuk membela satu pihak dan menzolimi pihak yang lain. Dalam satu hadist disebutkan, bahwa seandainya manusia seluruhnya menyembah Allah, maka tidak akan menambah kebesaran Allah sedikitpun, dan seandainya seluruh manusia kufur kepada Allah maka tidak akan mengurangi keagungan dan kebesarannya sedikitpun. Berbeda dengan peraturan yang dibuat manusia. Sedandainya manusia diberi hak membuat peraturannya sendiri, maka dia akan membuat peraturan yang menguntungkan mereka dan dipastikan akan merugikan pihak yang lain bahkan menindasnya. Oleh sebab itu Allah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk berlaku adil dalam menerapkan syariat Islam. Bahkan untuk masyarakat non muslim. Hal ini dipastikan dengan firman-Nya :

" Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar sebagai penegak keadilan , dan janganlah sekali-kali kbencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk ( berbuat ) tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat dendan taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan"
( QS Al Maidah : 8 )

2. Sewenang dan Kemampuan Daulah Islamiyah dalam penerapan Syariat Islam di tengah-tengah masyarakat.

Peranan negara dalam penerapan syariat Islam sangatlah penting dan menentukan. Karena negara sendiri adalah Kepemimpinan Umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia, dengan fungsi menerapkan hukum-hukum syariat Islam dan menyebarkan Islam ke segenap penjuru alam. 7) Negara juga tidak akan membeda-bedakan individu rakyat dalam aspek hukum, peradilan maupun dalam menjamin kebutuhan rakyat dan sebagainya. Seluruh rakyat akan diperlakukan sama tampa memperhatikan ras, agama dan warna kulit.
Bahkan dalam fungsi inilah kesejahteraan masyarakat di bidang ekonomi akan dijamin. Negara dalam masyarakat Islam memiliki kewajiban menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok tiap individu. Bahkan apabila seorang tidak mampu bekerja, maka negara wajib menyediakan sarana pekerjaan tersebut. Semua ini berlandaskan kepada Sabda Rosulullah SAW :

" Seorang Imam ( pemimpin ) adalah pemelihara dan pengatur urusan ( rakyat ) dan ia akan diminta pertanggung jawaban terhadap rakyatnya "
( HR Bukhari dan Muslim )

Dalam realisasinya Rosulullah SAW ( yang saat itu berkedudukan sebagai kepala negara ) pernah memberikan dua dirham kepada seseorang. Kemudian beliau berkata kepadanya :

" Makanlah dengan satu dirham, dan sisanya belikanlah kampak, lalu gunakan ia untuk bekerja "

Dari sinilah Imam Al Ghazali rahimahullah , menyatakan bahwa wajib atas negara memberikan dan meyediakan sarana-sarana pekerjaan kepada pencari kerja. Menciptakan lapangan pekerjaan adalah kewajiban negara dan merupakan bagian dari tanggung jawabnya terhadap pemeliharaan dan pengaturan urusan rakyat.
Dalam proyeksi masa depannya, apabila terwujud kembali kehidupan Islam , maka Daulah Islam dalam Undang-undang nya akan secara tegas mengatur urusan ini, yaitu negara menjamin nafaqah ( biaya ) hidup bagi orang yang tidak memiliki harta dan pekerjaan atau jika tidak ada orang yang wajib menganggung nafaqahnya ( sanak familinya ). Dan negara berkewajiban menampung orang lanjut usia dan orang-orang cacat. 8)

-Menurut teori ekonomi pula, semakin ramai anak, semakin tinggi pula permintaan terhadap susu, pampers, beras dan sebagainya. Permintaan yang tinggi pula memerlukan tenaga pekerja yang lebih ramai untuk menghasilkan pemintaan yang tinggi ini. Dengan bertambanhnya pekerja yang diserap masuk untuk bekerja dapat menangani masalah pengangguran dan kebuluran. Selain itu, income dalam negara juga akan turut melonjak. Jika dirujuk kembali sejarah silam negara Cina, rakyatnya pernah menghadapi masalah kebuluran. Walau bagaimana pun, masalah ini dapat mereka tangani dalam jangka waktu yang singkat, hanya dengan amalan BERPOLIGAMI DAN BERANAK RAMAI. Sekarang sudah tiada lagi kebuluran di Cina, bahkah ia dilihat sebagai sebuah negara yang aktif dan produktif dalam menghasilkan barangan natijahl daripada tenaga manusianya yang sangat ramai.

DALIL-DALIL KELEBIHAN BERKAHWIN:

1. DALIL DARI AL-QURAN

Firman Allah Taala:

“Dan kahwinkanlah orang-orang yang sendirian (bujang) di antara kamu”. (Surah al-Nuur: 32)

Ayat di atas merupakan satu anjuran yang ditujukan kepada orang-orang yang tidak mempunyai isteri supaya berkahwin.

“Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kahwin lagi dengan bakal suaminya”. (Surah al-Baqarah: 232)

Ayat di atas merupakan larangan dari Allah Taala kepada ibubapa yang enggan atau menghalang perkahwinan anak-anak perempuan mereka.

“Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami)”. (Surah al-Furqaan: 74)

Firman Allah Taala ini menyatakan satu sifat terpuji, iaitu berdoa memohon kepada Allah Taala agar dikurniakan isteri dan zuriat yang menyejukkan mata.

2. DALIL DARI HADIS RASULULLAH S.A.W :

Sabda Rasulullah s.a.w :

Rasulullah s.a.w. telah bersabda: “Nikah adalah sunnahku (jalan agamaku), maka barangsiapa yang cintakan agamaku hendaklah dia menjalankan sunahku itu”. (Riwayat Abu Ya’la dari Ibnu Abbas r.a)

Rasulullah s.a.w. telah bersabda: “Berkahwinlah supaya kamu menjadi ramai, bahawasanya aku bermegah-megah dengan kamu akan segala umat pada hari kiamat hingga dengan anak yang gugur dari perut ibunya”. (Hadis Dha’if riwayat Abu Bakar bin Mardawiyah dari Ibnu Umar)

Rasulullah s.a.w. telah bersadba: “Barangsiapa yang tidak beristeri kerana takutkan kepapaan maka dia bukan dari golongan kami”. (Hadis Dho’if riwayat Abu Mansur al-Dailami dari Abu Said)

Dari Aisyah r.a. dari Rasulullah s.a.w., baginda telah bersabda: “Barangsiapa yang mempunyai keluasan rezeki hendaklah berkahwin”. (Hadis Dha’if riwayat Ibnu Majah)
Barangsiapa di antara kamu yang berkemampuan mengeluarkan belanja perkahwinan, maka hendaklah dia berkahwin kerana perkara ini akan memejamkan mata dari melihat perempuan ajnabi dan akan memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang ketiadaan belanja perkahwinan, maka hendaklah dia berpuasa. Maka bahawasanya puasa itu melemahkan syahwat jimak. (Hadis yang disepakati oleh ali Hadis)

Lima hadis Rasulullah s.a.w. di atas menunjukkan beberapa fadhilat dan kelebihan yang mendorong dan menggalakkan supaya berkahwin. Ia juga menunjukkan akan kekhuatiran terhadap berlakunya zina mata dan zina faraj (kemaluan). Perkahwinan merupakan satu-satunya jalan keluar dari kekhuatiran tersebut .

3.DALIL DARI PERKATAAN PARA SAHABAT DAN ULAMAK

Saidina Umar al-Khatab r.a pernah berkata:

“Tiada yang menghalang perkhawinan itu kecuali oleh orang yang lemah dan yang membuat maksiat.”

Perkataan ini menjelaskan bahawa agama tidak menghalang perkahwinan dan sebaliknya merupakan satu kecelaan terhadap orang-orang yang menghalangnya.
Saidina Abbas r.a. berkata:

“Tidak sempurna ibadat seseorang yang mengerjakan ibadat sehingga dia berkahwin.”

Ini bermaksud, tidak sempurna ibadat seseorang itu kecuali setelah hatinya dikosongkan dari segala gangguan-gangguan was-was nafsu syahwat perkahwinan. Lalu kekosongan tersebut diisi dengan Allah s.w.t. Perkara ini akan hanya akan diperolehi dengan jalan perkahwinan sahaja
.
Abdullah bin Masud pernah mengucapkan:

Seandainya umurku hanya tinggal 10 hari sahaja untuk aku hidup, nescaya yang kusukai ialah berkahwin supaya aku tidak menemui Allah s.w.t. (mati) dalam keadaan aku bujang.

Sewaktu wabak taun melanda negeri Mesir, dua orang isteri saidina Mua’z telah meninggal dunia akibat penyakit tersebut. Dan ketika beliau sendiri diserang taun, katanya:

“Kahwinkanlah aku. Aku tidak suka menemui Allah s.w.t. dalam keadaan aku bujang. “
Saidina Ali r.a. telah berkahwin selepas tujuh malam kematian Saiyidah Fatimah r.a.
Saidina Umar al-Khatab r.a. adalah antara sahabat yang banyak berkahwin. Katanya:
“Aku tidak berkahwin kecuali untuk menghasilkan anak.”

Sufian bin Uyainah berkata:

“Memperbanyakkan isteri bukanlah dari perkara dunia yang sia-sia kerana saidina Ali r.a. merupakan seorang sahabat yang paling zuhud mempunyai 4 orang isteri dan 17 orang jariah. Perkahwinan merupakan jalan para anbiyak dan akhlak mereka. “
Imam Ahmad bin Hanbal r.a. telah berkahwin pada hari kedua kematian isterinya. Katanya:
“Aku tidak suka bermalam dalam keadaan aku bujang.”

TUJUAN PERKAHWINAN MENURUT PANDANGAN IMAM AL-GHAZALI

Imam al-Ghazali pula ada menyebutkan di dalam kitabnya al-Ihya’ Ulumuddin, terdapat 5 tujuan iaitu :

1) Dapat menghasilkan keturunan supaya dunia ini tidak kepupusan makhluk dari bangsa manusia. Dan seterusnya anak tersebut dapat berdoa untuk kedua ibubapanya setelah kematian mereka.

2) Menghilangkan tekanan syahwat seks terhadap wanita yang sentiasa datang mengganggu di dalam ibadatnya. Tekanan ini juga akan membawa kepada zina mata atau zina faraj. Dengan perkahwinan seseorang itu dapat memelihara diri dari syaitan yang akan membawa ke arah perkara-perkara yang haram.

3) Membereskan gangguan hati dalam masalah urusan rumahtangga seperti memasak, mengemas, membasuh dan lain-lain. Dengan ini, masanya tidak banyak terbuang hanya untuk urusan tersebut sahaja.

4) Dengan pergaulan dan percampuran suami isteri dapat menggembirakan serta menjinakkan hati dan perasaan. Di mana perkara ini akan mendorong dan menguatkan hatinya untuk rajin melakukan ibadat.

5) Dapat bermujahadah melawan hawa nafsu di dalam kehidupan berumahtangga, antaranya ialah:

i. Dengan menunaikan hak-hak yang diwajibkan terhadap isteri.
ii. Bersabar terhadap tingkah laku isteri yang tidak secocok dengannya.
iii. Berusaha untuk memperelok akhlak anak dan isterinya serta memberi tunjuk ajar kepada mereka ke jalan agama.
iv. Berusaha bersungguh-sungguh mendapatkan rezeki yang halal untuk menyara anak dan isteri.
v. Mendidik anak-anak supaya menjadi insan yang berguna.

TUJUAN DAN GALAKAN BERKAHWIN

Firman Allah s.w.t. di dalam surah al-Rum ayat 21:

Di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia (Allah) menciptakan pasangan-pasangan (jodoh) bagi kamu dari (makhluk) jenis kamu sendiri, agar kamu cenderung kepadanya dan merasa tenteram dengannya. Kemudian Allah menciptakan rasa kasih sayang di antara kamu. Sesungguhnya dalam hal itu terdapat tanda-tanda kekuasaanNya bagi orang-orang yang berfikir.


Di dalam firman Allah s.w.t. di atas jelas dan nyata sekali akan tujuan sebuah perkahwinan iaitu:

Membina kehidupan rumahtangga yang bahagia, aman dan damai.
Untuk mencapai kesatuan jiwa. Mereka sanggup bersama sehidup semati dalam meredah liku-liku dan pancaroba hidup. Manakala setiap kesenangan dan kebahagiaan yang diperolehi akan sama-sama dikecapi.

Hidup saling cinta menyintai, berkasih sayang dan percaya mempercayai.
Tiga pengajaran utama dari ayat di atas yang digariskan oleh Syeikh Muhamad Ali Qutb melalui bukunya, Tuhfatul Aris wal Arus ialah :

Pengajaran pertama:

Ketenteraman jiwa dari belenggu kemahuan nafsu dalam kehidupan suami isteri merupakan perkara yang asasi. Ketenteraman yang dimaksudkan di dalam ayat di atas terlalu luas pengertiannya, bukan hanya sekadar ketenteraman nafsu syahwat sahaja. Bahkan merupakan suatu kelegaan dan keselesaan dari keresahan, kegelisahan, kesunyian dan kekosongan. Atau dengan makna yang lebih tepat ialah ketenteraman rohani dan ketenangan batin.

Antara bukti yang nyata sekali ialah zuriat yang dikurniakan oleh Allah s.w.t. terhadap pasangan suami isteri. Ianya banyak mengisi kekosongan ruang yang sedia ada dalam jiwa pasangan ini. Malahan setiap manusia akan merasa kesunyian dan keresahan tanpa zuriat. Dengan mengendalikan perkara pertama ini dengan berpayungkan al-Quran dan al-Sunah, kebahagiaan dan keharmonian rumahtangga akan sentiasa berada di samping mereka. Sebaliknya, melakukan zina samada dengan perempuan simpanan atau pelacur tidak ke mana arah tujunya. Hanya sekadar mahu mendapat sedikit dari kelazatan hidup.

Pengajaran kedua:

Rasa cinta yang berbalas. Iaitu yang lahir dari perlakuan antara satu sama lain, dan lahir pula dalam kerjasama serta saling bantu membantu antara suami isteri dan antara keluarganya masing-masing. Dengan semangat kerjasama antara suami dan isteri, begitu juga antara ibubapa dan anak-anak, di mana kesusahan mereka pikul bersama untuk menanggungnya, manakala mendapat kebahagiaan mereka sama-sama mengecapinya, maka darinya akan lahirlah apa yang dinamakan dengan cinta berbalas.

Pengajaran ketiga:
Rasa kasih sayang, di mana kehidupan manusia akan dirasakan terlalu pincang tanpa perasaan ini. Kasih sayang sebagai ibu, ayah, suami, isteri dan anak.

MASALAH PEREMPUAN LAMBAT KAHWIN

Masalah kahwin lambat kahwin yang berlaku di kalangan masyarakat Malaysia semakin hari semakin meningkat. Ini adalah disebabkan oleh perkembangan dan perubahan sosiobudaya yang begitu pesat sekali. Perubahan ini adalah disebabkan oleh kepesatan pembangunan, khususnya dalam bidang sosioekonomi dan pendidikan. Taraf pendidikan dan penceburan wanita dalam sektor pekerjaan dan profesional terus meningkat. Ini menyebabkan perkahwinan pada usia muda telah berkurangan. Sebagai bukti, pada tahun 1956 wanita yang berkahwin pada usia 15 - 19 tahun lebih kurang 97 peratus, dan ianya menurun 6 peratus sahaja pada tahun 1988. Peratus ini berkemungkinan akan terus menurun pada dekad ini kerana negara semakin maju dan kehidupan semakin canggih .

Jika sebelum merdeka, purata perkahwinan ialah pada sekitar usia 17 tahun, tetapi di luar bandar sekitar 15 - 16 tahun. Sekarang purata perkahwinan adalah pada umur 20 tahun. Dari itu, pada keseluruhannya penduduk Malaysia masih berkahwin pada usia muda. Contohnya, pada tahun 1988, umur perkahwinan pertama bagi wanita Melayu 19 tahun, Cina 22 tahun dan India 20 tahun.

Dahulu seorang gadis yang berusia 20 tahun dianggap anak dara tua jika belum berkahwin, tetapi sekarang ini sudah tidak begitu lagi, kerana pada usia tersebut masih ramai yang sedang belajar di institusi pengajian tinggi, dan akan berlanjutan sehingga usia 24 atau 25 tahun. Itupun kalau tidak meneruskan pelajaran ke peringkat lebih tinggi. Mereka akan bekerja dengan sektor awam atau swasta atau istirahat sementara mendapatkan pekerjaan. Mungkan pada usia 30 tahun ke atas bolehlah dikatakan lewat terutama bagi wanita kerana ada faktor lain yang perlu diambil kira, yang berkait rapat dengan usia, seperti jangka hayat kesuburan yang berkait rapat pula dengan masalah kesihatan ketika hamil dan melahirkan anak dan sebagainya.

Faktor yang menyebabkan wanita lambat berkahwin ialah :

1.Perubahan nilai sosial.
2. Alasan ekonomi memaksa perubahan umur berkahwin.
3. Akibat perubahan struktur penduduk, keadaan dan keperluan wanita, seperti melanjutkan pelajaran dan bekerja membantu keluarga.
4. Sukar mendapat pasangan yang sesuai dan idaman hati.
5. Masalah peribadi.

Antara kesan negatif ialah:

1. Wanita yang berkahwin lambat akan melambatkan kelahiran anak pertama, tempoh subur dan selamat untuk mengandung dan melahirkan anak lebih pendek (15 - 49) tahun. Wanita yang lewat melahirkan anak pertama menghadapi komplikasi yang lebih tinggi semasa mengandung dan bersalin.
2. Majoriti masyarakat memandang serong dan kurang menyenangkan.
3. Membuang masa dan kurang produktiviti (zuriat dan ibadat)
4. Bercanggah dengan tuntutan agama yang menggalakkan kahwin lebih awal bagi menghindarkan maksiat.

Kebaikan dari berkahwin lambat ialah :

1. Minda lebih matang.
2. Ekonomi stabil.
3. Pengetahuan dan kemahiran lebih sempurna.
4. Lebih bersedia dan berkeyakinan.

Tiada ulasan: